Tulisan ini saya posting atas permintaan seorang teman untuk
menyebarkan inspirasi sekaligus memprovokasi. Bon apettite!
Setiap kali melihat teman saya berwisata, jalan-jalan ke
Makassar, Bali, Green Canyon, Pulau Pari, Karimunjawa..bahkan ke luar negeri
seperti Singapura dan Korea..setiap kali itu pula muncul keinginan seperti
mereka. Lelahnya bekerja, seakan menjadi alasan kuat untuk memberi hadiah pada
diri sendiri, sekedar menikmati jerih payah dan kerja keras setelah sedikit
memberi pada orang tua.
Kebanyakan perjalanan yang saya lakukan adalah perjalanan
dinas, a business trip, yang cuma modal badan, pikiran, dan keringat, dibekali
tiket, uang hotel, dan honor kerja di luar kota. Sejauh ini memang saya bisa
menikmatinya sebagai suatu penyegaran. Tapi tetap, keinginan untuk jalan-jalan
yang sebenar-benarnya tidak lantas hilang juga. Apalagi mendengar teman saya
bilang, meskipun ke luar negeri, kerja itu ga enak, yang enak itu jalan-jalan.
Maka ketika niat untuk jalan-jalan itu saya utarakan kepada
orang tua, saya tidak menyangka bahwa niat itu tidak disetujui. Orang tua,
terutama ibu, tidak setuju jika saya bepergian ke berbagai tempat apalagi ke
luar negeri, jika belum menginjakkan kaki ke Tanah Suci. Katanya, kenapa
pergi-pergi ke luar negeri buang uang, padahal yang diperintahkan belum
dilaksanakan.
Lantas saya mengubur niat untuk jalan-jalan itu, dalam.
Kehidupan tetap saya jalani seperti biasa dalam jalurnya:
bekerja, melakukan hobi, kumpul bersama teman, mencari acara gratisan macam
pameran, expo, atau nonton film gratisan yang bisa jadi hiburan murah meriah di
akhir pekan, dan tidak ketinggalan, belanja.
Lama kelamaan saya mulai bosan dengan rutinitas itu. Apa
lagi ketika melihat teman yang sudah mulai mengalami perubahan dalam hidupnya:
melanjutkan studinya, atau menikah. Saya seolah seperti stuck di tempat yang
sama setelah hampir tiga tahun bekerja tanpa perubahan yang berarti dalam tiga
tahun itu: sekolah tidak, menikah pun tidak. Tentang melanjutkan studi di
kantor saya ini memang menjadi semacam kewajiban tak tertulis. Melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi akan mendukung kinerja di kantor saya.
Dan tahap berikutnya adalah dilema. Rumor dilema yang selama
ini saya dengar adalah tentang dilemanya perempuan di lingkungan kantor saya
untuk memilih prioritasnya: sekolah dulu atau menikah dahulu. Ada yang
berpendapat, lebih baik sekolah dulu
baru menikah agar studinya lancar tanpa direpotkan keluarga dan bisa memilih
sekolah di mana pun bahkan ke luar negeri. Ada juga yang bilang, lebih baik menikah
dulu supaya tenang. Untuk hal yang satu ini saya sudah memantapkan hati.
Sembari menunggu jodoh datang, saya akan tetap melakukan hal yang terbaik yang
bermanfaat, sehingga ketika jodoh datang kita tidak sia-sia menghabiskan waktu
hanya dengan menunggu. Toh nyatanya saya menemukan banyak orang yang bertemu
jodohnya ketika sedang sekolah atau
setelah sekolah. Saya berusaha percaya bahwa jodoh bukan ditentukan oleh
pendidikan kita, apa lagi ditentukan oleh anggapan orang-orang. Jodoh benar-benar
kuasa Alloh. Jadi, melanjutkan studi menjadi pilihan saya, karena bagi saya itu
yang mampu saya usahakan.
Tak mudah untuk meyakinkan orang tua. Bagi kebanyakan orang
yang tinggal di sini, di Jakarta, perempuan berpendidikan S2 bukanlah hal yang menakutkan.
Tapi, bagi orang yang tinggal di kota kecil macam kampung halaman saya, tidak
mudah menerima pemahaman itu. Lebaran 2012, ijin untuk melanjutkan studi belum
bisa diberikan orang tua saya. Perempuan, semakin tinggi sekolahnya dan semakin
bertambah umurnya, semakin sedikit pria yang berani dan mau memilih. Jleb!
Kalimat itu seolah mematahkan apa yang saya yakini.
Pernah juga saya nekat mendaftar sekolah karena anjuran dari
kantor. Tetapi akhirnya saya menjadi bingung sendiri saat menjelang pengumuman
karena seorang teman bercerita, saat dia mendaftar S2, ada pertanyaan seperti
ini dalam seleksi wawancara: Anda sudah menikah? Jika sudah menikah, apakah
suami/istri mengijinkan Anda berangkat? Jika belum menikah, apakah orang tua
mengijinkan Anda berangkat? Dan alhamdulillah kebingungan itu tidak perlu
berlanjut karena saya tidak lolos untuk ikut seleksi wawancara.
Bulan Februari 2013 saya nekat lagi mendaftar beasiswa
Australia Awards Scholarschips (dahulu ADS). Dengan semangat 45, saya
mempersiapkan semuanya: mengisi aplikasi, mencari surat referensi ke kampus,
dan sebagainya. Ketika ibu saya menanyakan perihal beasiswa ini (terutama waktu
studi dan usia saya), saya berusaha menjelaskan dari sisi saya, bahwa saya
perlu pengalihan dari kebosanan rutinitas kehidupan saya selama ini. Tidak
mudah memang, karena ibu saya tetap belum mengijinkan. Tapi bagi saya, tidak
ada salahnya mencoba, siapa tahu ini rejeki saya.
Di sela-sela menunggu hasil seleksi tahap pertama, jujur
saya memang sangat galau. Hajat yang belum terlaksana, perbedaan pendapat
dengan orang tua yang sulit untuk diselaraskan, ditambah kebosanan menjalani
rutinitas, seolah menjadi lingkaran masalah yang tidak ada ujung penyelesaian.
Teringat share seorang teman yang mengalami situasi yang sama, ayahnya berkata: “Orang tua itu
punya anak perempuan mau sebagus apa karirnya, setinggi apa sekolahnya,
sebanyak apa gajinya tetap belum tenang kalo anaknya belum menikah.” Apa mungkin
ridho Allah belum datang karena ridho orang tua yang belum saya dapatkan. Waktu
itu muncul sebuah keinginan yang kuat untuk benar-benar mendekat pada-Nya,
untuk berdoa sepuasnya meminta petunjuk yang seperti hilang dari hidup saya: umroh.
Niat umroh itu pun tidak serta merta bisa terlaksana. Saya mempertimbangkan
waktu dan teman untuk ke sana karena orang tua sudah mendaftar haji.
September 2013 setelah saya mendapat kabar tentang
pembatalan rencana keberangkatan training ke Beijing, China, teman setia dalam
perjalanan saya pulang ke kampung halaman bercerita bahwa dia akan menikah.
Saya merasa akan kehilangan teman untuk pulang. Masya Alloh, rasa resah ini
benar-benar sudah stadium tinggi. Saat itulah niat itu menjadi semakin bulat.
Kekecewaan akan kegagalan rencana perjalanan ke luar negeri dan keresahan yang
tinggi, membulatkan rencana untuk berangkat umroh. Alhamdulillah, sharing saya
ke tante (yang sempat punya keinginan juga) membuahkan hasil. Akhirnya kami
akan berangkat berenam: saya bersama orang tua, om, dan 2 tante saya.
Lalu apa kabar beasiswa saya? Tanpa diduga, alhamdulillah orang
tua saya tiba-tiba memberikan ijin untuk
saya melanjutkan sekolah. Akhir Oktober 2013 saya mendaftar kursus persiapan
IELTS untuk menghadapi seleksi beasiswa AAS tahap berikutnya, jika memang saya
lolos pada pengumuman Desember 2013 nanti. Saat itu saya merasa lingkaran
masalah mulai terbuka. Mungkin Allah akan memberi saya kesempatan untuk sekolah
dulu.
Tapi sekalipun begitu, saya tidak membantah kalau
keberangkatan umroh nanti akan membawa sebuah doa, tentang kegalauan akan jodoh
yang belum juga datang. Daftar doa itu sudah saya siapkan selain mengurus suntik meningitis (cerita lengkapnya di sini) dan
paspor (cerita lengkapnya di sini). Dan tanpa diduga, tanpa disangka, sehari setelah saya mendapatkan
paspor untuk umroh, ada seorang laki-laki baik yang menyatakan bahwa dia bersedia
menghabiskan hidup bersama saya: menikah. Subhanallah.
Sempat terpikir oleh orang tua saya untuk mempertimbangkan
kembali rencana umroh, karena kebutuhan biaya pernikahan nanti. Tapi dalam
pikiran saya, alangkah rendahnya iman kami jika rencana itu kami batalkan
padahal doa yang ingin dipanjatkan di tanah suci justru sudah di-ijabah dahulu
sebelum kami berangkat (!). Rencana tidak berubah.
Dan mengenai beasiswa AAS… Pertengahan Desember 2013 saya
mendapat email pengumuman bahwa beasiswa saya tidak diterima. Rupanya Allah
akan memberi saya nikmat untuk menikah dahulu.
24 Desember 2013 pukul 24.00, saat saya sedang dalam perjalanan
pulang ke rumah karena libur Natal yang cukup lama, kejutan kembali datang.
Adik saya, yang telah menjalani sebagai pencari kerja selama lebih dari dua
tahun, akhirnya diterima menjadi PNS di kementerian yang paling bergengsi (menurut
saya). Subhanallah. Allah benar-benar memberikan kenikmatan yang beruntun
kepada keluarga kami.
Saya makin rindu untuk mengunjungi rumah-Nya setelah melihat betapa keajaiban
itu benar-benar nyata. Alloh memberi saya dan keluarga saya begitu banyak
kemudahan. Satu per satu hajat yang selama ini diinginkan keluarga kami menjadi
nyata. Bahkan sebelum kami memanjatkan doa di rumah-Nya nanti.
Jadi jika ada yang masih setengah hati, bulatkan niat untuk
pergi mengunjungi rumah-Nya. Jika ada yang belum beniat, cobalah mencari
panggilan-Nya. Saya yakin tidak hanya saya yang diberi kejutan macam ini.
Mungkin kalian yang menempati giliran berikutnya?
No comments:
Post a Comment