Saturday, January 11, 2014

The Perfect Plan


Tulisan ini saya posting atas permintaan seorang teman untuk menyebarkan inspirasi sekaligus memprovokasi. Bon apettite!

Setiap kali melihat teman saya berwisata, jalan-jalan ke Makassar, Bali, Green Canyon, Pulau Pari, Karimunjawa..bahkan ke luar negeri seperti Singapura dan Korea..setiap kali itu pula muncul keinginan seperti mereka. Lelahnya bekerja, seakan menjadi alasan kuat untuk memberi hadiah pada diri sendiri, sekedar menikmati jerih payah dan kerja keras setelah sedikit memberi pada orang tua.

Kebanyakan perjalanan yang saya lakukan adalah perjalanan dinas, a business trip, yang cuma modal badan, pikiran, dan keringat, dibekali tiket, uang hotel, dan honor kerja di luar kota. Sejauh ini memang saya bisa menikmatinya sebagai suatu penyegaran. Tapi tetap, keinginan untuk jalan-jalan yang sebenar-benarnya tidak lantas hilang juga. Apalagi mendengar teman saya bilang, meskipun ke luar negeri, kerja itu ga enak, yang enak itu jalan-jalan.

Maka ketika niat untuk jalan-jalan itu saya utarakan kepada orang tua, saya tidak menyangka bahwa niat itu tidak disetujui. Orang tua, terutama ibu, tidak setuju jika saya bepergian ke berbagai tempat apalagi ke luar negeri, jika belum menginjakkan kaki ke Tanah Suci. Katanya, kenapa pergi-pergi ke luar negeri buang uang, padahal yang diperintahkan belum dilaksanakan.

Lantas saya mengubur niat untuk jalan-jalan itu, dalam.

Kehidupan tetap saya jalani seperti biasa dalam jalurnya: bekerja, melakukan hobi, kumpul bersama teman, mencari acara gratisan macam pameran, expo, atau nonton film gratisan yang bisa jadi hiburan murah meriah di akhir pekan, dan tidak ketinggalan, belanja.

Lama kelamaan saya mulai bosan dengan rutinitas itu. Apa lagi ketika melihat teman yang sudah mulai mengalami perubahan dalam hidupnya: melanjutkan studinya, atau menikah. Saya seolah seperti stuck di tempat yang sama setelah hampir tiga tahun bekerja tanpa perubahan yang berarti dalam tiga tahun itu: sekolah tidak, menikah pun tidak. Tentang melanjutkan studi di kantor saya ini memang menjadi semacam kewajiban tak tertulis. Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi akan mendukung kinerja di kantor saya.

Dan tahap berikutnya adalah dilema. Rumor dilema yang selama ini saya dengar adalah tentang dilemanya perempuan di lingkungan kantor saya untuk memilih prioritasnya: sekolah dulu atau menikah dahulu. Ada yang berpendapat, lebih baik  sekolah dulu baru menikah agar studinya lancar tanpa direpotkan keluarga dan bisa memilih sekolah di mana pun bahkan ke luar negeri. Ada juga yang bilang, lebih baik menikah dulu supaya tenang. Untuk hal yang satu ini saya sudah memantapkan hati. Sembari menunggu jodoh datang, saya akan tetap melakukan hal yang terbaik yang bermanfaat, sehingga ketika jodoh datang kita tidak sia-sia menghabiskan waktu hanya dengan menunggu. Toh nyatanya saya menemukan banyak orang yang bertemu jodohnya ketika sedang  sekolah atau setelah sekolah. Saya berusaha percaya bahwa jodoh bukan ditentukan oleh pendidikan kita, apa lagi ditentukan oleh anggapan orang-orang. Jodoh benar-benar kuasa Alloh. Jadi, melanjutkan studi menjadi pilihan saya, karena bagi saya itu yang mampu saya usahakan.

Tak mudah untuk meyakinkan orang tua. Bagi kebanyakan orang yang tinggal di sini, di Jakarta, perempuan berpendidikan S2 bukanlah hal yang menakutkan. Tapi, bagi orang yang tinggal di kota kecil macam kampung halaman saya, tidak mudah menerima pemahaman itu. Lebaran 2012, ijin untuk melanjutkan studi belum bisa diberikan orang tua saya. Perempuan, semakin tinggi sekolahnya dan semakin bertambah umurnya, semakin sedikit pria yang berani dan mau memilih. Jleb! Kalimat itu seolah mematahkan apa yang saya yakini.

Pernah juga saya nekat mendaftar sekolah karena anjuran dari kantor. Tetapi akhirnya saya menjadi bingung sendiri saat menjelang pengumuman karena seorang teman bercerita, saat dia mendaftar S2, ada pertanyaan seperti ini dalam seleksi wawancara: Anda sudah menikah? Jika sudah menikah, apakah suami/istri mengijinkan Anda berangkat? Jika belum menikah, apakah orang tua mengijinkan Anda berangkat? Dan alhamdulillah kebingungan itu tidak perlu berlanjut karena saya tidak lolos untuk ikut seleksi wawancara.

Bulan Februari 2013 saya nekat lagi mendaftar beasiswa Australia Awards Scholarschips (dahulu ADS). Dengan semangat 45, saya mempersiapkan semuanya: mengisi aplikasi, mencari surat referensi ke kampus, dan sebagainya. Ketika ibu saya menanyakan perihal beasiswa ini (terutama waktu studi dan usia saya), saya berusaha menjelaskan dari sisi saya, bahwa saya perlu pengalihan dari kebosanan rutinitas kehidupan saya selama ini. Tidak mudah memang, karena ibu saya tetap belum mengijinkan. Tapi bagi saya, tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu ini rejeki saya.

Di sela-sela menunggu hasil seleksi tahap pertama, jujur saya memang sangat galau. Hajat yang belum terlaksana, perbedaan pendapat dengan orang tua yang sulit untuk diselaraskan, ditambah kebosanan menjalani rutinitas, seolah menjadi lingkaran masalah yang tidak ada ujung penyelesaian. Teringat share seorang teman yang mengalami situasi  yang sama, ayahnya berkata: “Orang tua itu punya anak perempuan mau sebagus apa karirnya, setinggi apa sekolahnya, sebanyak apa gajinya tetap belum tenang kalo anaknya belum menikah.” Apa mungkin ridho Allah belum datang karena ridho orang tua yang belum saya dapatkan. Waktu itu muncul sebuah keinginan yang kuat untuk benar-benar mendekat pada-Nya, untuk berdoa sepuasnya meminta petunjuk yang seperti hilang dari hidup saya: umroh. Niat umroh itu pun tidak serta merta bisa terlaksana. Saya mempertimbangkan waktu dan teman untuk ke sana karena orang tua sudah mendaftar haji.

September 2013 setelah saya mendapat kabar tentang pembatalan rencana keberangkatan training ke Beijing, China, teman setia dalam perjalanan saya pulang ke kampung halaman bercerita bahwa dia akan menikah. Saya merasa akan kehilangan teman untuk pulang. Masya Alloh, rasa resah ini benar-benar sudah stadium tinggi. Saat itulah niat itu menjadi semakin bulat. Kekecewaan akan kegagalan rencana perjalanan ke luar negeri dan keresahan yang tinggi, membulatkan rencana untuk berangkat umroh. Alhamdulillah, sharing saya ke tante (yang sempat punya keinginan juga) membuahkan hasil. Akhirnya kami akan berangkat berenam: saya bersama orang tua, om, dan 2 tante saya.

Lalu apa kabar beasiswa saya? Tanpa diduga, alhamdulillah orang tua saya  tiba-tiba memberikan ijin untuk saya melanjutkan sekolah. Akhir Oktober 2013 saya mendaftar kursus persiapan IELTS untuk menghadapi seleksi beasiswa AAS tahap berikutnya, jika memang saya lolos pada pengumuman Desember 2013 nanti. Saat itu saya merasa lingkaran masalah mulai terbuka. Mungkin Allah akan memberi saya kesempatan untuk sekolah dulu.

Tapi sekalipun begitu, saya tidak membantah kalau keberangkatan umroh nanti akan membawa sebuah doa, tentang kegalauan akan jodoh yang belum juga datang. Daftar doa itu sudah saya siapkan selain mengurus suntik meningitis (cerita lengkapnya di sini) dan paspor (cerita lengkapnya di sini). Dan tanpa diduga, tanpa disangka, sehari setelah saya mendapatkan paspor untuk umroh, ada seorang laki-laki baik yang menyatakan bahwa dia bersedia menghabiskan hidup bersama saya: menikah. Subhanallah.

Sempat terpikir oleh orang tua saya untuk mempertimbangkan kembali rencana umroh, karena kebutuhan biaya pernikahan nanti. Tapi dalam pikiran saya, alangkah rendahnya iman kami jika rencana itu kami batalkan padahal doa yang ingin dipanjatkan di tanah suci justru sudah di-ijabah dahulu sebelum kami berangkat (!). Rencana tidak berubah.

Dan mengenai beasiswa AAS… Pertengahan Desember 2013 saya mendapat email pengumuman bahwa beasiswa saya tidak diterima. Rupanya Allah akan memberi saya nikmat untuk menikah dahulu.

24 Desember 2013 pukul 24.00, saat saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah karena libur Natal yang cukup lama, kejutan kembali datang. Adik saya, yang telah menjalani sebagai pencari kerja selama lebih dari dua tahun, akhirnya diterima menjadi PNS di kementerian yang paling bergengsi (menurut saya). Subhanallah. Allah benar-benar memberikan kenikmatan yang beruntun kepada keluarga kami.

Saya makin rindu untuk mengunjungi rumah-Nya setelah melihat betapa keajaiban itu benar-benar nyata. Alloh memberi saya dan keluarga saya begitu banyak kemudahan. Satu per satu hajat yang selama ini diinginkan keluarga kami menjadi nyata. Bahkan sebelum kami memanjatkan doa di rumah-Nya nanti.

Jadi jika ada yang masih setengah hati, bulatkan niat untuk pergi mengunjungi rumah-Nya. Jika ada yang belum beniat, cobalah mencari panggilan-Nya. Saya yakin tidak hanya saya yang diberi kejutan macam ini. Mungkin kalian yang menempati giliran berikutnya?


Cerita terkait:
Umroh hari pertama

No comments:

Post a Comment