Monday, May 15, 2017

Menuju Pascasarjana



Perjuangan saya mendapatkan beasiswa sebenarnya tidak sekeren pejuang lain yang sampai mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi, bagi saya ini suatu pencapaian yang berarti dalam hidup saya.

Keinginan sekolah memang sempat tertunda sampai saya menikah pertengahan tahun 2014. Awal tahun 2015 saya sudah berniat untuk mendaftar lagi, tetapi Allah memberi saya rezeki yang lain. Karena alhamdulillah awal tahun 2015 saya hamil! Mengingat perkiraan kelahiran yang jatuh pada bulan september, yang bertepatan dengan awal perkuliahan pada umumnya, saya mengurungkan niat untuk mendaftar di tahun 2015.

Awal tahun 2016 saya mencoba mendaftar beasiswa Kemenristekdikti. Program yang saya ambil adalah Magister Statistika Terapan di IPB. Waktu itu, saya tidak berpikir panjang. Saya baru mempersiapkan berkas yang diperlukan pada setelah mengikuti sosialisasi di kantor. Sehingga saat saya sedang mendaftar beasiswa, saya juga baru mendaftar di IPB.

Pada saat itu, pengumuman penerimaan beasiswa lebih cepat dari pengumuman pendaftaran IPB. Jadi memang saya tidak memiliki tambahan “senjata” untuk mengikuti seleksi beasiswa. Konon, pendaftaran beasiswa dengan melampirkan surat penerimaan dari universitas memperbesar peluang diterima. Mungkin memang benar ya, karena saya tidak lolos seleksi beasiswa. Namun, setidaknya saya mendapat kabar baik bahwa saya lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di IPB.

Surat penerimaan mahasiswa baru di IPB mengharuskan saya untuk melakukan registrasi dan verifikasi serta membayar uang masuk pada akhir Agustus 2016. Nah, karena saya bertekad untuk melanjutkan studi tanpa biaya sendiri, maka saya mengajukan permohonan untuk menunda perkuliahan selama 1 tahun dengan alasan menunggu pengumuman beasiswa. Prosesnya mudah dan memang sudah menjadi hal yang umum di IPB sehingga pihak pengelola bisa menerima.

Tahun 2017. Saya bersiap untuk mendaftar lagi.

Sampai awal April, saya belum mendapat info sosialisasi tentang pembukaan seleksi beasiswa. Padahal, tahun 2016 lalu, sosialisasi dilakukan bulan Februari. Dan akhirnya suatu sore, saya mendapat kabar dari teman bahwa sosialisasi sudah diadakan dan beasiswa sudah ditutup per 31 Maret. Kaget, sedih, kesal, marah, itu pasti. Beasiswa yang sudah lama saya incar terlewatkan begitu saja hanya karena alasan sepele, ketinggalan info.

Saya tidak mau meratapi terlalu lama. Segera mencari rencana lain untuk tetap bisa melanjutkan studi tahun ini juga. Opsi pertama, meminta penundaan selama setahun lagi. Tapi pihak IPB menyatakan tidak bisa memberikan penundaan lagi. Opsi kedua, kuliah dengan biaya sendiri. Banyak hal yang menjadi perdebatan saya dengan suami. Pertama, jelas biaya sendiri memberatkan pengeluaran rutin. Kedua, kuliah dengan biaya sendiri mengharuskan saya untuk tetap bekerja alias masuk kantor jika tidak ada kuliah. Ini memberatkan saya karena pikiran terbagi menjadi 3: kantor, kampus, dan rumah. Ketiga, karena jarak kampus dengan kantor terhitung luar kota, maka pasti tidak diperkenankan untuk mengajukan ijin belajar. Sepertinya opsi kedua ini tidak mungkin juga.

Di tengah kebingungan saya, ada angin segar rupanya. Seorang kolega menawarkan program beasiswa ijin belajar dengan bentuk master by research di Universitas Indonesia. Saya hanya perlu mempersiapkan diri untuk lolos seleksi masuk UI. Fyi, biaya pendaftaran pasca sarjana di UI (dan di IPB) sebesar 750 ribu rupiah. Besar memang jumlahnya, tapi saya niatkan untuk ikhtiar maksimal. Pendaftaran online dan pembayaran sudah saya selesaikan. Tinggal bersiap belajar sampai tanggal tes tiba.

Akhir April, saya mendapat angin segar kedua (hehe), ternyata dari pendaftar beasiswa yang sudah masuk, masih tersisa kuota karena hanya sedikit yang lolos seleksi. Saya tidak menunggu lama lagi, segera saya sampaikan berkas pendaftaran yang memang sudah 75% saya siapkan sejak lama.
Saat itu, saya hanya berharap, mana saja itu yang terbaik menurut Allah, berikanlah kepada saya. Sambil terus berikhtiar dengan membeli buku latihan soal TPA J

Tanggal 15 Mei 2017. Saat saya bersama tim penelitian baru selesai melakukan wawancara dengan pakar di Pusat Penelitian Biologi, saya mendapat kabar via WA dari beberapa rekan kantor bahwa beasiswa saya lolos! Alhamdulillah, artinya saya jadi kuliah di IPB tahun ini. Dan tidak perlu mengikuti seleksi masuk di UI.

Sunday, December 18, 2016

Manajemen Penyimpanan ASIP



Memberikan ASI perah (ASIP) memang banyak sekali seluk beluknya. Saya akui sudah banyak sekali membaca blog atau artikel tentang manajemen ASIP. Tapi tak ada salahnya ya saya bagi cerita pengalaman saya sendiri. Cerita kali ini tentang bagaimana cara menyimpan ASIP.
Pertama, tentang memilih botol.  Botol ASIP ada beberapa macam. Ada botol ASIP yang berbentuk seperti wadah susu, cenderung lebih tipis dan memiliki tutup karet. Saya sendiri tidak pernah mencoba memakai botol ini karena menurut teman-teman yang sudah pengalaman, botol semacam ini lebih rapuh. Meskipun ringan ketika dibawa dalam perjalanan, tutup botolnya sering tiba-tiba lepas jika ASIP sedang dihangatkan. 


Botol tutup karet

Ada juga botol ASIP yang terbuat dari plastik seperti botol susu pada umumnya, hanya tutupnya saja yang tanpa dot. Jadi ketika ingin memberikan ASIP (melalui dot), tutup botol cukup daiganti dengan dot. Tapi sepertinya botol ini kurang pas di kantong, karena dalam jumlah yang besar, biaya untuk membeli botol semacam ini pasti akan membengkak.


Botol khusus, harganya lumayan



Pilihan saya jatuh pada botol yang mirip dengan kemasan UC. Kenapa saya katakan mirip? Karena saya membeli botol yang baru, bukan botol bekas. Ada botol mirip UC yang memang dibuat oleh pabrik botol menyerupai botol UC dikarenakan adanya kebutuhan para ibu menyusui (busui) yang harus menyimpan ASIP. Awalnya, seorang teman bercerita bahwa dia khawatir jika membeli botol yang kurang steril dalam proses pencucian botol. Lalu dia menyarankan saya untuk menyicil membeli UC 1000 satu botol setiap hari kemudian botol bekasnya dicuci dan disimpan sendiri. 


 Tetapi, cara ini kurang efektif juga bagi saya karena saat itu saya disarankan untuk minum CDR yang mengandung kalsium. Jadilah suami yang dikorbankan untuk minum UC 1000. Lama kelamaan dia bosan hehe. Solusinya, saya beli botol mirip UC (bukan botol bekas ya) yang memang merupakan botol baru. Oh iya, jika kita mengumpulkan botol UC sendiri, tutup botolnya bisa diganti dengan tutup plastik. Sudah banyak yang menjual tutup botol untuk botol UC. Tutupnya ada 2, tutup tekan lalu diikuti tutup ulir. Kedua tutup ini cenderung lebih aman untuk membawa ASIP hasil perahan dalam perjalanan pulang dari kantor supaya tidak tumpah.


Botol plastik khusus untuk perjalanan kantor-rumah
 Kedua, memberi label botol. Soal memberi label pun bagi saya penting. Karena label harus tetap terbaca supaya tahu masa pakai ASIP. Setelah mengikuti beberapa cerita di blog, kebanyakan botol ASIP diberi label dengan stiker kertas yang sering kita lihat untuk label alamat undangan. Sewaktu awal menabung ASIP, saya mencoba label kertas tapi ternyata luntur ketika sudah masuk freezer. Mungkin karena faktor kulkas di rumah orang tua yang ada bunga es nya. Saya memutar otak mencari cara bagaimana cara yang lebih baik untuk memberi label pada botol ASIP. Akhirnya, saya menuliskan label pada selotip bening menggunakan spidol permanent (waterproof) lalu menempelkan di botol. Cara ini terbukti dapat menjaga tulisan pada label tetap terlihat setelah berminggu-minggu disimpan di freezer.


Label di badan dan tutup botol

Ketiga, menulis label. Apa saja yang ditulis di label? Saya menuliskan nomor urut, tanggal, dan jumlah (mililiter) ASI yang ada dalam botol. Nomor urut berguna untuk melihat ASIP nomor berapa yang paling lama, dan yang paling baru. Pemberian nomor juga memudahkan ketika suatu saat kita membersihkan freezer atau kulkas. Botol ASIP yang dikeluarkan saat membersihkan freezer akan mudah disusun ulang jika diberi nomor tanpa perlu mengurutkan tanggal karena otomatis nomor yang lebih kecil adalah tanggal yang lebih awal. Jumlah (ml) ASIP pada botol juga menurut saya perlu ditulis karena ada suatu masa ketika takaran minum bayi tidak bulat kelipatan 100ml sesuai isi yang disarankan untuk botol UC. Nah, dengan menuliskan volume, kita bisa memilih botol nomor berapa yang pas untuk minum ASIP dalam sehari sehingga tidak terlalu banyak ASIP yang terbuang.


Label kertas vs Label selotip bening

Keempat, membuat daftar ASIP. Saya membuat daftar ASIP menggunakan kertas folio kemudian saya tempel di pintu kulkas. Satu halaman saya bagi menjadi 2. Kemudian setiap bagian itu dibagi menjadi kolom: Nomor, tanggal dan volume, serta wadah penyimpanan. Kenapa wadah penyimpanan ini perlu ditulis? Karena saya menggunakan plastik ASIP juga untuk menyimpan ASIP. Jika dalam daftar saya tuliskan jenis wadahnya, akan memudahkan saya untuk mencari ASIP nomor sekian di deretan botol ataukah di tumpukan plastik. Daftar ASIP ini memudahkan kita untuk memilih ASIP mana yang akan dipakai dahulu cukup dengan melihat nomornya dan mencarinya di freezer berdasarkan jenis wadahnya. Daftar ini juga berguna untuk mengecek apakah stok ASIP kita yang paling lama sudah mulai masuk masa kadaluarsa sehingga bisa mengubah pola pemberian ASIP dari first in last out menjadi first in last out. Tidak lupa juga setiap saya menurunkan botol ASIP, nomor botol ASIP yang sudah dipakai saya coret pada daftar. Hal ini memudahkan saya untuk mengecek jumlah stok ASIP dengan cepat hanya dengan menghitung nomor botol. Jumlah stok ASIP dihitung dengan: nomor ASIP tertinggi dikurangi nomor ASIP tertinggi yang dicoret dikurangi banyak ASIP yang dicoret di antara kedua nomor tersebut. Maklum ya, saya terbiasa mengelola kuesioner di kantor dalam jumlah ratusan. Sehingga, hal seperti ini sudah biasa saya lakukan hehe.





Awal menyimpan ASIP

Catatan yang tersisa


Kelima, menyusun botol dan plastik pada freezer. Setelah botol diberi nomor, saya menyusun botol tersebut berjajar ke belakang, kemudian pada barisan di sebelahnya berjajar ke belakang lagi. Untuk ASIP dalam plastik, saya membekukannya dalam keadaan mendatar supaya memudahkan menyusun dan hemat tempat. Tapi, saya tidak merekomendasikan membekukan ASIP menjadi tipis seperti itu jika ASIP akan dibawa dari dan ke luar kota ya. Karena ASIP beku cenderung mudah cair jika permukaannya semakin luas dan bentuknya tipis. Nah, untuk memudahkan mengambil, saya memberikan batas berupa talenan plastik (cutting mat). Batas ini saya letakkan di antara barisan terlama dengan barisan terbaru. Talenan ini juga berguna untuk ‘mencetak’ ASIP dalam plastik supaya beku dalam bentuk gepeng. Selain itu, saya menggunakan karet gelang untuk menandai botol mana yang besok harus dipakai dahulu jika ASIP yang sudah saya turunkan pada malam hari masih kurang. Saya cukup bilang pada pengasuh untuk mengambil botol yang saya beri karet gelang pada leher botolnya. Praktis bukan? Cara seperti ini memudahkan saya dalam memberikan ASIP, menginstruksikan pengasuh, dan menghemat waktu karena tidak perlu melihat-lihat tanggal untuk memilah botol. Seringkali terjadi, teman-teman saya mendapati ASIP yang sudah kadaluarsa. Dan harus membuangnya. Sedih sekali kan? Dengan cara ini, saya yakin tidak ada lagi ASIP kadaluarsa.


Susunan botol dalam freezer: baris yang rapi ya!

Suka sekali melihat barisan plastik ini


Masa-masa terakhir sebelum memutuskan untuk berhenti memerah ASI