Mengikuti workshop di Hanoi awal Desember lalu adalah pengalaman pertama saya bepergian ke luar negeri. Sebelum berangkat, saya mencari info dari berbagai blog (dan tentu saja Google) tentang Hanoi.. Sayangnya info yang saya dapat mungkin masih belum cukup. Sehingga ada beberapa hal yang merepotkan saya dan teman-teman. Semoga bisa menjadi masukan :)
Tentang Cuaca
Berdasarkan catatan yang saya peroleh dari panitia, pada bulan Desember, Hanoi memasuki musim dingin, dengan curah hujan rendah (dry) dan suhu pada kisaran 18-20 derajat celcius. Tinggal di Jakarta yang panas, dengan suhu 28-30 derajat Celcius, apalagi dalam kamar tanpa penyejuk ruangan membuat saya sulit membayangkan sedingin apa suhu 18 derajat itu? Lalu, apa saja yang perlu disiapkan untuk menghadapi suhu pada kisaran itu? Jaket setebal apa? Apa perlu memakai syal dan sarung tangan seperti yang saya lihat di film-film Korea itu? Hehehe…
Saya pun bertanya ke sana kemari. Teman yang tinggal di Bekasi (katanya terkenal panas), berkata bahwa suhu pada kisaran itu tidak masuk dalam kategori dingin, karena dia biasa memasang AC kamarnya pada kisaran angka itu. Fine. Narasumber berikutnya adalah sepupu saya yang sudah pernah ke Korea dan baru saja pulang dari Beijing. Dia bilang, suhu di atas 15 derajat tidak perlu menggunakan jaket musim dingin, tapi cukup teratasi dengan pakaian yang disebut Long John.
Long John adalah sejenis baju pelapis yang dipakai sebelum mengenakan baju luar. Long John biasanya terbuat dari Nylon Elastis dan sedikit Spandex. Satu set Long John terdiri dari dua potong, atasan lengan panjang dan celana panjang. Sekedar gambaran, atasannya mirip dengan baju manset yang ketat (perempuan berjilbab pasti tahu baju manset), sedangkan celana panjangnya mirip seperti legging. Bedanya, Long John memiliki lapisan penghangat di bagian dalam yang menempel pada tubuh kita, mirip seperti lapisan yang terdapat pada selimut bayi.
Terus, di mana belinya? Di Sarinah – Grand Indonesia satu set Long John pria dijual sekitar 300 ribu IDR. Tapiii..kita bisa dapat harga lebih murah di ITC Pasar Pagi, Mangga Dua. Sepupu saya merekomendasikan toko Djohan. Toko ini juga melayani penjualan secara online. Benar juga, di sini saya dapat satu set LongJohn untuk perempuan seharga 90 ribu IDR.
Dengan memakai Long John, kita tidak perlu mengenakan jaket. Ini sangat berguna ketika kita mengikut acara formal. Kita tidak perlu mengenakan baju dan jaket berlapis-lapis dan tentu saja akan terlihat rapi..sekaligus terlihat tahan dingin, hehe…
Hasil "tampilan" setelah memakai Long John
Selama empat hari mengikuti workshop, satu stel Long John cukup untuk melindungi dari suhu dingin di Hanoi. Ketika panitia membawa kami ke sebuah restoran di luar hotel untuk jamuan makan malam pada hari kedua, saya memakai Long John untuk pertama kalinya. Saya tidak tahu persis berapa suhu di udara saat itu. Tapi memakai Long John cukup untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin malam itu.Pada hari kelima, saya menuju bandara Noi Bai di Hanoi. Saya tidak menggunakan Long John karena akan kembali ke Jakarta. Begitu kami keluar hotel menuju taksi, udara dingin menyerang tubuh. Saya kedinginan, karena hanya mengenakan jaket biasa. Saat saya cek di ponsel, suhu udara saat itu 14-18 derajat Celcius. Pantas saja kami kedinginan..
Saran saya, selain membawa Long John, jika memungkinkan bawalah jaket untuk musim dingin dan syalnya.. Ramalan cuaca di berbagai situs kadangkala kurang akurat. Saya sedikit beruntung karena pada bulan Desember, Hanoi baru memasuki musim dingin. Menurut staf dari KBRI di Hanoi, pada bulan Februari suhunya bisa mencapai 5 derajat Celcius.
Tentang Toilet dan Air
Perjalanan kami dari Jakarta ke Hanoi berhenti di Bangkok untuk transit. Kami transit di Suvarnabhumi International Airport Bangkok selama enam jam. Selama transit, kami menggunakan beberapa toilet yang berbeda. Saya kaget ketika menemukan toilet tanpa selang air penyemprot dan tanpa pemancar air otomatis. Saya hanya menemukan tisu L. Rasanya kesal sekali tidak disediakan air sementara saya sudah sangat ingin pipis. Terpaksa saya tahan sampai menemukan toilet lain yang menyediakan air. Karena kepepet, saya pun menemukan ide. Dalam toilet, saya melihat ada sanitary bag (mungkin disediakan untuk membungkus pembalut/tampon). Saya mengambil kantong plastik itu dan mengisinya dengan air dari wastafel untuk dibawa ke dalam toilet. Dan…taraa…berhasil, hehe.
Jika Anda bepergian ke luar negeri, sebaiknya bawalah botol kecil untuk mengambi air di wastafel. Bawalah botol kosong agar lolos dari pemeriksaan petugas bandara. Di Vietnam, saya juga menemukan toilet tanpa air di Noi Bai International Airport, di dekat meeting room Sunway Hotel tempat saya mengikuti workshop, di Vietnamese Ethnographical Museum, dan di Water Puppet Theathre.
Tentang Makanan (Halal)
Saat mengisi formulir registrasi untuk workshop, saya menuliskan “halal/moslem food” pada isian “special needs (dietary/foods)”. Sebelum berangkat, ada teman yang menyarankan membawa mi instan dalam gelas. Tapi saya lupa tidak membawanya. Memang, sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Budha, agak sulit menemukan makanan yang terjamin kehalalannya di Vietnam.
Selama workshop, panitia menyediakan sarapan dan makan siang, ditambah dengan dua kali coffe break. Kami hanya perlu memikirkan makan malam. Di Hanoi banyak penjual makanan di pinggir jalan. Tetapi saya memutuskan untuk tidak membeli makanan di pinggir jalan. Kenapa? Pertama, karena saya tidak tahu bagaimana rasanya makanan yang akan kami beli. Kedua, karena tempatnya terlihat kurang bersih. Dan yang paling penting adalah, saya tidak tahu apakah makanan itu halal atau tidak. Selama di Hanoi, saya makan malam dengan roti dan jus buah. Setidaknya itu lebih membuat saya tenang.
Menu wajib sarapan saya selama di Hanoi adalah roti dan omelet. Dua makanan itu setidaknya mengandung nutrisi yang cukup. Omelet di restoran hotel dibuat fresh from the pan. Kita bisa meminta dibuatkan omelet sesuai selera kita, berapa butir telurnya, isinya apa saja, dan tingkat kematangannya. Pesanan omelet pada hari pertama sampai hari keempat saya lalui dengan lancar. Saya dan rekan sarapan sekitar pukul 8 pagi sebelum workshop dimulai.
Hari kelima, kami sarapan pukul 6 pagi karena harus berangkat ke bandara pukul 6.30 pagi. Seperti biasa, saya memesan omelet. Ketika memesan, sang koki sepertinya kurang paham dengan yang saya tanyakan. Tanpa menjawab pertanyaan saya tentang potongan daging yang disediakan, dia langsung membuatkan dua omelet untuk saya dan rekan saya. Oh ya, rekan saya itu nonmuslim, jadi dia bebas makan apa saja. Saat koki itu tengah membuat omelet kami, saya mencoba menanyakan lagi. Tapi dia justru mengira saya ingin tambah daun bawang. Wah, perasaan saya jadi tidak enak. Beberapa saat kemudian, omelet kami sudah siap. Dia menyodorkan omelet pertama untuk rekan saya. Omelet kedua saya terima. Masih dengan memegang piring berisi omelet, untuk terakhir kali say a bertanya, Bismillah..dalam hati saya..
“What is it?”
“Ham..”
“Ya..what ham is it?”
“Ham..”
“Oh no..I mean, is it beef or chicken?”
“Pork (babi)”
“Ham..”
“Ya..what ham is it?”
“Ham..”
“Oh no..I mean, is it beef or chicken?”
“Pork (babi)”
Oh tidak, hampir saja. Saya langsung mengembalikan omelet itu dan memesan omelet “no ham, welldone”. Untunglah saya masih selamat, hehe.. Saat saya tengah menikmati omelet itu, terbesit dalam pikiran saya. Memang saat koki mengocok telur di mangkok, tidak dicampur dengan daging babi. Jadi mangkok bersih dari daging babi. Next, ketika omelet digoreng dalam minyak, dibolak-balik menggunakan sendok penggorengan, bukankah minyak, wajan, dan sendoknya sama? Saya kehilangan selera makan terhadap omelet itu. Diakhiri saja. Alhamdulillah..
Ketika memilih menu di restoran, saya menjumpai menu bertuliskan “Grilled Pork-rib” (Iga Babi Panggang). Well, itu jelas dituliskan. Lalu, bagaimana dengan makanan yang mengandung sedikit babi? Sebab rekan saya berkata, “Kamu jangan makan ini, kayaknya ada babi-nya, rasanya beda..” Saya tidak berani mengambil resiko makan sembarangan. Maka, siasat saya adalah dengan memperbanyak makan buah dan cake J
Tentang Sholat
Menjelang keberangkatan saya ke Hanoi, tidak henti-hentinya ibu saya mengingatkan dan menekankan untuk menjaga shalat ketika ada di sana. “Jangan lupa shalat, tanya waktunya, gimana..“ Hmm..untuk urusan yang satu ini, ibu saya memang agak intens mengingatkan. Tapi tak apa lah, itu bentuk perhatian dan kasih sayang ibu saya.
Sesampainya di hotel, saya dan rekan langsung masuk ke kamar. Saya lupa menanyakan arah kiblat ke resepsionis saat check-in. Kata resepsonis yang saya hubungi lewat telepon, dia akan mengirim rekannya yang tahu tentang hal itu. Saya tenang, pikit saya ada jugaorang muslim di Vietnam. Beberapa menit kemudian, telepon di kamar kami berdering. Petugas hotel. Saya siap mendengarkan instruksi arah kiblat. Tetapi betapa terkejutnya saya ketika pembicaraan yang terdengar adalah tentang penawaran menu di restoran hotel. Olala, ternyata salah paham. Saya menolaknya. Dan menjelaskan sekali lagi bahwa saya tidak membutuhkan makanan melainkan petunjuk arah kiblat. Sekali lagi telpon berdering. Dan sekali lagi saya ditawari menu makan malam di restoran. Saya menolaknya sekali lagi. Pasrah.
Saya menggelar sajadah ke arah yang nyaman sesuai tata ruang kamar kami. Bismillah. Baru sekali ini saya merasakan betapa sulitnya menjadi kaum minoritas. Hari kedua saya menemukan wi-fi di kamar. Menggunakan ponsel Android saya, akhirnya ketemu juga arah kiblat. Beruntung, atau kebetulan, ternyata arah yang saya tebak kemarin tak begitu melenceng jauh dari arah kiblat yang benar.
Saya pun berpikir, betapa bodohnya saya ketika kemarin bertanya pada resepsionis tentang arah kiblat. Seharusnya saya tidak bertanya tentang arah kiblat ataupun Mekkah karena bisa jadi mereka tidak tahu apa itu kiblat dan apa itu Mekkah. Mungkin akan lebih baik jika saya bertanya, ke mana arah barat, karena secara kasar, Vietnam berada di utara Indonesia. Jadi arah kiblatnya pun ke barat, hanya perlu disesuaikan beberapa derajat.
Sebenarnya tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan Hanoi. Tetapi, menurut hemat saya, bisa jadi terdapat perbedaan waktu shalat karena perbedaan lamanya siang dan malam. Hasil browsing saya menunjukkan jadwal shalat yang sedikit berbeda di Hanoi: Subuh 05.00, Dhuhur 12:47, Ashar 15.00, Magrib 17.15, dan Isya 18.30. Waktu shalat Magrib sangat berbeda dengan Jakarta. Sekedar informasi, jika kita akan bepergian ataupun jalan-jalan keliling Hanoi, sulit menemukan tempat shalat. Jadi, lebih baik kita sudah menjamak shalat. Wallahu a’lam.
kereenn...
ReplyDeletematurnuwun...
Deletekebetulan ketiban rejeki ana tawaran nguli ng luar negeri, heheh
jan jan... *Nguli
ReplyDeletepengalaman yang bagus
ReplyDelete