Wednesday, January 29, 2014

Rangkaian Ibadah Umroh


Awalnya saya mengira ibadah umroh memang lamanya selama sembilan hari, tetapi saya baru tahu saat saya menjalaninya sendiri. Ibadah umroh sebenarnya bisa dilakukan selama satu hari saja. Bahkan, penduduk setempat atau penduduk sekitar Mekkah bisa menjalankan rangkaian ibadah umroh pada longweekend saja.
Perjalanan umroh dimulai dengan berniat. Niat ini dilakukan di miqat yang merupakan batas tempat di mana kita diwajibkan melakukan rukun umroh dan tidak boleh melakukan larangannya. Jadi, penduduk yang tinggal di dalam kawasan tanah Haram harus keluar dahulu melewati batas tanah Haram untuk mengambil miqat. Pada umumnya penduduk Indonesia menjalankan ibadah umroh diawali dengan mengunjungi Madinah sehingga miqat yang diambil adalah masjid Bir Ali. 

Meninggalkan Madinah menuju Masjid Bir Ali


Perjalanan dari Madinah menuju masjid Bir Ali ditempuh dalam waktu sekitar 25 menit menggunakan bus. Dalam perjalanan tersebut, jamaah wanita sudah memakai pakaian umroh yang berwarna putih. Sedangkan jamaah laki-laki belum memakai pakaian ihram (ganti pakaian di masjid Bir Ali). 

Halaman Masjid Bir Ali

Halaman Masjid Bir Ali

Si Om yang narsis abis
 
Di masjid ini kami melaksanakan shalat dua rakaat sebelum umroh kemudian berniat untuk umroh (membaca lafadz niat umroh). Selama menjalankan rangkaian ibadah umroh, jamaah wanita harus menutup aurat seperti ketika shalat, termasuk kaki dan pergelangan tangan. Sebaiknya pilih pakaian yang sempurna menutup pergelangan tangan. Selain itu, jamaah wanita dari Indonesia biasanya menggunakan sarung tangan umroh. Saya pernah ditanya oleh jamaah dari Malaysia perihal sarung tangan ini ketika bertemu di lift hotel di Madinah. Dia menebak saya dari Indonesia, karena melihat sarung tangan yang saya pakai, katanya ini khas Indonesia.

Si Om dan Ibu setelah berniat umroh di Masjid Bir Ali

Umroh dimulai!

Sejak berniat di masjid Bir Ali, maka sejak itu larangan yang berlaku selama ibadah umroh mulai berlaku: memakai wangi-wangian, berbuat fasik, berkata-kata yang tidak baik, merusak tanaman, dan sebagainya.
Pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Mekkah yang ditempuh dalam waktu sekitar enam jam. Jalanan menuju Mekkah (dan jalan yang menghubungkan antar kota di Arab) seperti jalan tol di Indonesia, lebar dan panjang serta dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk arah. Bedanya, di Arab tidak ada kemacetan antar kota kecuali jika musim haji, itu pun hanya antara Mekkah dan Madinah.

Menjelang pukul enam sore kami beristirahat di kawasan seperti rest area di jalan tol untuk sekedar minum dan mengisi perut sejenak. Ada yang unik ketika kami berhenti di sini. Kami menemukan Indomie dalam gelas seperti Pop mie. Saya memesannya seharga 5 SAR ditambah teh seharga 3 SAR. Rasanya mirip Indomie yang dijual di Indonesia karena bumbunya saja bertuliskan bahasa Indonesia hihi 


Rehat sebentar

Kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di kota Mekkah pukul 20.30. Kami sampai di tanah Haram(!). Perasaan merinding lebih kuat ketika saya baru sampai di Madinah. Mungkin saya tidak teralu merasakan perbedaan karena saya sudah merasakan suasana tanah Arab dari Madinah. Ditambah lagi rasa letih sudah terkumpul sejak hari pertama kami di Madinah.


Sampai di hotel sudah lelah :(

Lobi hotel

Setelah kami mendapat kamar di hotel, rangkaian ibadah umroh pun dilanjutkan (bahkan mungkin baru dimulai hehe). Kami dibimbing menuju Masjidil Haram. Jarak hotel dengan Masjidil Haram hanya sekitar 300 meter berjalan kaki. Kami akan melaksanakan shalat Magrib dan Isya dengan jamak takhir. 

Sesaat sebelum masuk ke Masjidil Haram, muthawaif mengumpulkan kami untuk memberikan penjelasan. Seperti biasa, kami disarankan untuk mengingat pintu masuk masjid dan memberi petunjuk arah untuk pulang ke hotel. Pintu terdekat dari hotel kami adalah pintu nomor 1 yang dinamakan King Abdul Aziz Gate. Pintu ini berhadapan dengan Zam-zam Tower, hotel terkenal dengan jam besar di atasnya yang menyala dan mengeluarkan suara adzan setiap waktu shalat.

Kami pun masuk ke Masjidil Haram sambil menyapu pemandangan di depan mata mencari di mana letak Ka’bah. Saya sedikit nervous, benarkah seperti kata orang-orang jika melihat Ka’bah akan menangis?
Sepertinya saya tidak demikian. Mencari letak Ka’bah dalam pandangan mata perlu sedikit jeli karena saat ini sedang dibangun lintasan di sekeliling Ka’bah (dua lantai di atas lantai dasar) untuk perluasan area thawaf. Jadi jangan dibayangkan kita akan mendapatkan pemandangan Ka’bah yang terlihat jelas di antara lautan manusia seperti dalam lukisan atau sajadah jaman kakek-nenek kita.

Kami mencari tempat shalat yang agak luas untuk berjamaah satu rombongan di basement. Masjidil Haram memiliki tempat shalat yang sangaaaaaat luas tetapi terdiri dari banyak ruang dan beberapa lapisan. Tempat shalat untuk jamaah perempuan dan laki-laki biasanya berselang seling, tidak dibagi dua seperti di Masjid Nabawi. Kebayang kan kalo di masjid seluas kurang lebih 656.000 km2 jamaah yang merupakan suami istri harus terpisah demikian jauhnya karena tempat shalat dibagi dua saja.

Jika dibandingkan, hawa dingin di Masjid Nabawi lebih karena AC sedangkan di Masjidil Haram hawa dingin lebih cenderung karena kipas angin, meskipun ada AC juga. Mungkin karena bangunan Masjidil Haram yang bertingkat dan cenderung lebih rendah atapnya sehingga kipas angin di sini sangat kencang untuk ukuran saya. Selanjutnya, rangkaian ibadah umroh dimulai:

Umroh hari keempat: Sampai Jumpa Masjid Nabawi, T_T


Pagi ini terasa berbeda. Hari ini hari terakhir kami di Madinah karena kami akan berangkat ke Mekkah untuk menjalankan rangkaian ibadah umroh ba’da shalat Dhuhur nanti. Sedih. Rasanya kami ingin berlama-lama di kota ini.

Maka setelah shalat shubuh pagi ini kami bertahan agak lama di masjid Nabawi sampai menunggu waktu shalat Dhuha. Pagi ini kami ingin menikmati masjid Nabawi untuk yang terakhir dalam rangkaian perjalanan kali ini (semoga suatu saat bisa kembali ke sana lagi, aamiin YRA). Interiornya yang cantik, lampu yang gemerlapan, dan kombinasi warna hitam di antara warna cokelat muda. Kami ingin mengenangnya dan menyimpan dalam ingatan.




Seusai shalat subuh, sebagian jamaah keluar dari masjid. Sambil menunggu waktu Dhuha, kami berpindah tempat dari tempat shalat shubuh kami di bagian yang tidak berkarpet menuju bagian yang berkarpet. Tak lama, serombongan jamaah berparas cantik duduk di dekat kami. Saya, ibu, dan tante terpana, subhanallah cantik sekali. Seorang jamaah wanita dari Indonesia di dekatnya berbicara dengan mereka menggunakan bahasa Inggris tetapi tidak dimengerti. Ibu saya bersikeras supaya saya mengajak mereka berfoto bersama. Aduh..bagaimana caranya? Akhirnya ibu saya nekat mengajak mereka berfoto menggunakan bahasa isyarat. Mereka agak salah paham mengira bahwa kami memintanya untuk mengambil gambar. Saya menjelaskan menggunakan bahasa Inggris, tetapi mereka tidak mengerti. “Do you speak English?” Jawabnya, “A little,” hihihi. Dan inilah hasilnya….


Setelah berfoto, kami bercakap sekadarnya. Rupanya mereka berasal dari Turki. Mereka memberi kami permen, katanya “This is Turkish candy”, lalu ibu saya bergerilya menemukan permen Gulas di tasnya dan ganti memberikan permen sambil berkata “Indonesia” (tiba-tiba ibu saya berani hihihi), saya menyahut , “This is Indonesian candy, tamarind flavour.”

Setelah itu mereka berpamitan. Saya merasakan kedekatan meskipun baru pertama bertemu. Bukan hanya dengan mereka orang-orang dari negara lain yang bercakap2 dengan kami, tetapi juga dengan seluruh jamaah yang datang dan shalat di Masjid Nabawi ini. Kami semua adalah tamu Allah yang mencari ketenangan dengan mendekat pada-Nya.

Pagi ini kami juga mendapatkan pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya: atap masjid yang dibuka! Ya, memang masjid Nabawi memiliki atap yang bisa dibuka. Sayang sekali kami tidak melihat proses bergesernya kubah hingga akhirnya seperti ini:






Sebelum pulang dari  masjid Nabawi, kami menyempatkan berfoto di pintu masjid tempat kami  biasa masuk. Pintu masjid Nabawi berhiasakan emas. Kadang ada orang yang mengkultuskan pintu masjid ini dengan mencium pintu masjid ketika masuk dan keluar. Biasanya mereka dalah orang-orang dari Asia Selatan karena saya melihat pakaiannya khas Pakistan, India, dan Bangladesh. Pintu tempat kami berfoto ini adalah bagian dari pintu Utsman bin Affan (no.25). Tetapi ini adalah bagian yang jarang dibuka di kanan-kiri pintu masuk.

Foto ini diambil pada hari yang berbeda


Setelah puas berfoto, tante saya yang sudah menjalankan ibadah haji mengajak kami untuk melihat toilet yang ada di Masjid Nabawi. Katanya supaya terbiasa jika nanti menjalankan ibadah haji (aamiin). Kenapa sampai sebegitu lebaynya ingin meninjau toilet? Pertama, kami belum pernah ke toilet, selalu berdoa dan berusaha semoga tidak batal wudhu karena toiletnya jauh dari tempat kami sholat (kecuali jika shalat di pelataran yang beratap payung). Kedua, toiletnya unik. Kenapa? Untuk masuk ke toilet ini menggunakan eskalator (gak cuma mall aja hahaha). Toiletnya terhampar di tiga lantai, tapi bukan ke atas, melainkan ke bawah. Jadi kita menggunakan eskalator untuk turun. Cekidot fotonya:





Pagi itu seperti perpisahan kami dengan Madinah. Saya sempatkan mengambil foto sebanyak-banyaknya di sekitar Masjid Nabawi. Madinah akan saya rekam dalam ingatan. Masjid Nabawi dan kawasan sekitarnya yang tak pernah sepi. Kawasan sekitarnya hanya sepi ketika waktu shalat saja, karena ditinggalkan pedagang untuk shalat 5 waktu sementara barang dagangannya hanya ditutup dengan kain saja. Sedih sekali rasanya akan meninggalkan kota ini, membuat ada semacam rindu untuk kembali ke sini, suatu saat nanti, insya Allah.

Ba'da Dhuhur di sekitar hotel (kompleks Masjid Nabawi)

Ba'da Dhuhur di sekitar Masjid Nabawi, payung cantiknya sedikit terlihat di foto ini



Sampai jumpa, Madinah

Tuesday, January 28, 2014

Umroh Hari Ketiga: Madinah City Tour




Setelah semalam berjuang menuju Raudhah, jadwal kami adalah: City Tour alias jalan-jalan yeaayy... Tapi, namanya juga (ibadah) umroh, jalan-jalannya masih terkait dengan religi. Tujuannya? 

1. Masjid Quba

Kami berangkat dari hotel pukul 8 pagi. Cuaca pada waktu itu mendung. Dan, alhamdulillah, kami menikmati hujan di tanah Arab yang katanya hanya datang sekali atau dua kali di sini.

Masjid Quba malam hari, foto diambil dari sini.


Di masjid Quba, kami melaksanakan shalat Dhuha. Tempat sholat untuk jamaah perempuan ada di atas. Saat naik ke lantai atas, jamaah sangat perlu berhati-hati karena untuk naik dan turun digunakan tangga yang sama. Untuk jamaah berusia lanjut wajib dijaga atau minimal berpegangan pada pegangan dekat dinding sepanjang tangga.


Interior Masjid Quba, foto diambil dari sini
Masjid Quba merupakan masjid pertama kali yang dibangun Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah. Masjid ini dibangun pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi oleh Rasulullah dan para sahabat saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Otomatis, masjid ini merupakan masjid tertua dan masjid pertama di dunia.

Masjid yang berdiri sekitar 5 kilometer di bagian Tenggara Kota Madinah ini disebut di dalam Al Quran sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa. Seperti tertuang dalam Surat At Taubah:108. Allah memuji masjid ini yang menjadi tempat salat para penduduk Quba.

Firman Allah SWT, Sesungguhnya masjid itu yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu (Hai Muhammad) bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. (At Taubah, 108).  (sumber: wikipedia).

Menurut Muthawwif, pahala shalat di masjid Quba setara dengan 500 kebaikan. Saya sendiri belum paham bagaimana menilai 500 kebaikan. Ada juga yang menyebutkan, pahala shalat di masjid Quba setara dengan 500 pahala shalat di masjid lain (selain masjidil Haram, masjid Nabawi, masjidil Aqsha). Wallahu ‘alam, biarlah Allah yang menilai.

Seusai shalat Dhuha, rupanya hujan di luar sana semakin deras. Jadi kami memutuskan untuk menunggu sejenak sembari berfoto (maaf sedikit narsis hehe).

Bersama Ibu :)

 2. Jabal Uhud

Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan ke Jabal Uhud. Sayang sekali karena hujan makin deras, kami tidak dapat turun untuk mendekat ke Jabal Uhud. 

Jabal Uhud (gunung Uhud), adalah gunung batu berwarna kemerahan, tidaklah begitu besar, tingginya hanya 1.050 meter dan terpisah dari bukit-bukit lainnya. Berlokasi sekitar 5 kilometer sebelah utara kota Madinah.


Bentuk Jabal Uhud, seperti sekelompok gunung yang tidak bersambungan dengan gunung-gunung yang lain. Sementara umumnya bukit di Madinah, berbentuk sambung menyambung. Karena itulah, penduduk Madinah menyebutnya Jabal Uhud yang artinya ‘bukit menyendiri’.


Jabal Uhud, gambar diambil dari sini

Jabal Uhud, termasuk salah satu bukit yang sangat memiliki nilai sejarah penting dalam sejarah Islam. Di bukit ini, terjadi peperangan yang sangat memilukan dalam sejarah Islam. Pasukan kaum Muslimin yang dipimpin langsung Nabi Muhammad SAW, bertempur habis-habisan dengan kaum musyrikin Kota Makkah.

Kisah pilu ini, digambarkan oleh Rasul dengan menyebut bukit ini sebagai bukit yang nantinya akan bisa dilihat di Surga. Jadi, umat Islam yang kini akan melaksanakan ibadah haji dan menyempatkan diri untuk berziarah ke Bukit Uhud, insya Allah saat berada di Surga juga akan menyaksikan kembali bukit ini.

Merinding rasanya T_T

3. Kebun Kurma

Pukul 9.30 kami sampai di kompleks perkebunan  kurma. Sayangnya, kurma berbuah pada bulan Juni, sehingga kami tidak dapat melihat kurma berbuah di pohonnya. Ditambah lagi cuaca pada waktu itu hujan. Jadi kami langsung diantar ke Pasar Kurma.



Pasar kurma ini berupa satu toko yang cukup luas, menjual berbagai macam oleh-oleh khas Arab. Jangan heran kalo di sini berisiiiik sekali. Pedangang menawarkan Di sini dijual semua jenis kurma mulai dari yang murah sampai yang mahal. Daaan...semua boleh dicicipi meskipun tidak jadi beli. Jadi, saran saya, pantang pulang sebelum kenyang hehehe. Kapan lagi mencicipi kurma mahal? 

Selain itu, ada juga cokelat. Cokelat curah dijual 40 SAR per kilogram (di pelataran Masjid Nabawi dijual 20 SAR). Sedangkan cokelat batu dijual 45 SAR per bungkus. Waktu itu saya sudah terlanjur beli 2 bungkus tapi nyesel (karena lebih murah di Mekkah hehe).

Bapak, 2 jemaah rombongan, dan om saya yang narsis

Pasar kurma juga melayani pengiriman oleh-oleh dalam jumlah besar ke Indonesia. Semua petunjuk dituliskan dalam bahasa melayu/Indonesia. Di sisi luar toko ini, ada yang menjual kurma segar 15 SAR/kg. Rasanya mirip seperti matoa tetapi sedikit lebih kering. Sayangnya kurma segar tidak bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama.

Di sekitar pohon kurma
Sepulang dari Pasar Kurma, hujan semakin deras. Kami beruntung, sekali lagi Alhamdulillah. Hujan di Madinah yang benar-benar jarang terjadi, dan kami mengalaminya. Di sepanjang jalan, ada beberapa genangan yang mirip seperti Jakarta ketika banjir, tapi tanpa kemacetan.
Selanjutnya biarkan foto yang bercerita yah ^_^







Monday, January 27, 2014

Melangkah ke Raudhah: Subhanallah!



Hari pertama di Madinah masih terasa istimewa. Shalat subuh pagi tadi yang sangat luar biasa. Perasaan takjub masih menghiasi pikiran kami. Ada satu lagi yang istimewa untuk saya ceritakan di hari pertama di Madinah ini: tentang Raudhah.

Raudhah adalah tempat/ruangan antara mimbar Rasulullah dengan rumahnya. Nama Raudhah sendiri dalam bahasa Arab berarti taman. Dahulu, masjid yang didirikan oleh Rasulullah berada di luar rumahnya. Tetapi, dengan adanya perluasan Masjid Nabawi,  rumah Rasulullah menjadi terletak di dalam Masjid Nabawi. Lokasi yang dahulu merupakan rumah Rasulullah ini sekarang menjadi makam Rasulullah.



Lalu, apa istimewanya Raudhah? Ada sebuah hadits yang menyebutkan:

“Antara rumahku dengan mimbarku adalah Raudhah di antara taman-taman surga” (HR. Bukhari no. 1196)

Tempat yang disebut Raudhah tidak begitu luas. Luas Raudhah dari arah Timur ke Barat sepanjang 22 m dan dari Utara ke Selatan sepanjang 15 m . Luasnya yang hanya 144 meter persegi tak sebanding dengan jutaan jamaah yang berebut ingin masuk ke sana. Yang bisa mengetahui persis letak Raudhah adalah jamaah laki-laki karena arah Raudhah adalah arah kiblat (otomatis jamaah laki-laki berada di barisan depan). Jika tempat sholat di Masjid Nabawi beralaskan karpet merah, maka Raudhah katanya ditandai dengan karpet hijau dengan motif abu-abu. Jamaah haji atau umroh yang berada di Madinah, biasanya akan menyempatkan berdoa di Raudhah. Tempat ini tak pernah sepi, menjadi tempat yang paling afdhal untuk memanjatkan doa.

Motif karpet yang menentukan batas area Raudhah


Nah sekarang sudah tahu kan apa keistimewaan dari Raudhah. Siapa di antara teman-teman yang ingin berdoa di Raudhah? Saya yakin, semuanya pasti ingin memanjatkan doa di sana. Nah, ini baru teman-teman saya. Sementara masih ada saudara muslim seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, juga ingin memanjatkan doa di sana. Hihi…

Kunjungan ke Raudhah diatur untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Ada dua waktu, yaitu setelah isya atau setelah subuh. Kedua waktu ini dipilih karena jarak sholat wajib berikutnya cukup panjang sehingga tidak mengganggu pelaksanaan sholat wajib berjamaah. Jadwal jamaah perempuan pada hari itu setelah isya. Sedangkan jadwal untuk jamaah laki-laki setelah subuh.

Setelah shalat isya dan makan malam di hotel, sekitar pukul 9 malam kami berkumpul di pelataran Masjid Nabawi dibimbing oleh muthawwif perempuan (karena akan mengunjungi Raudhah). Saat kami masuk ke masjid, ada yang berbeda rupanya. Di bagian terdepan yang bisa digunakan jamaah perempuan untuk sholat, ada sekat kayu yang dibuka. Di kanan kiri sekat yang dibuka, rupanya dipasang semacam bilik dari terpal yang seolah-olah membentuk labirin. Rasa penasaran saya akan gulungan terpal di beberapa tiang masjid terjawab sudah. Ternyata terpal itu digunakan untuk membentuk jalan menuju Raudhah.

Antrian jamaah yang ingin ziarah ke Raudhah diatur menurut ras. Kedengarannya aneh ya? Atau ini seperti mengarah ke SARA? Hihi… bukan. Setidaknya saya menduga ada dua tujuan mengapa antriannya dipisahkan menurut ras. Pertama, agar askar yang menjaga mudah untuk mengatur jamaah karena dalam satu ras biasanya menggunakan bahasa yang sama. Kedua, hal ini untuk kebaikan jamaah juga, terutama jamaah Melayu (termasuk Indonesia) yang berbadan kecil. Gak kebayang kan kalo orang Indonesia yang berbadan kecil harus antri berdesakan bersama orang Iran yang tinggi besar.

Muthawwif membimbing kami menelusuri labirin. Untuk masuk ke Raudhah, setidaknya kami perlu antri di tiga titik. Pada antrian pertama dan kedua kami mengantri dengan duduk. Jika tidak ada muthawwif yang membimbing, atau jika ingin ziarah lagi di luar jadwal yang ditetapkan biro travel, kita bisa mengikuti rombongan lain yang sedang dibimbing oleh muthawwif. Atau cara lain, tinggal ikuti askar saja. Biasanya setelah isya para askar memegang tulisan besar untuk masing-masing ras: Melayu (termasuk Indonesia), Turki, Pakistan, dan sebagainya.

Di sela-sela antrian, kami juga dituntun memanjatkan shalawat dan salam kepada Rasulullah karena sebentar lagi akan menuju makam Rasulullah. Muthawwif juga memberi penjelasan tentang tata cara berdoa di Raudhah. Jika sempat dan memungkinkan, shalatlah dua rakaat di Raudhah kemudian panjatkan doa. Tetapi menurut beberapa informasi dan pengalaman yang saya temukan di blog, berdoalah ketika sedang sujud terakhir. Kenapa? Karena jamaah yang mengantri untuk berdoa di Raudhah sangat sangat banyak. Sehingga jika kita telah selesai shalat dan terlalu lama berdoa, askar alias penjaga masjid akan meminta kita untuk segera beranjak.

Muthawwif juga menujukkan letak makam Rasulullah ketika antrian kami semakin dekat. Apa yang saya rasakan? Ketika baru melihat warna hijau bertuliskan huruf arab berwarna emas, saya merinding. Itu adalah bagian atas dari dinding ruangan tempat di mana Rasulullah dimakamkan. Rasulullah, yang saya kenal namanya dari orang tua dan guru-guru saya, sosok yang berjarak 15 abad yang lalu, sekarang jasadnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat saya duduk bersila.



Saat mengantri, ada sedikit keributan. Sekelompok jamaah memakai baju gelap, bertubuh tinggi besar, datang dari arah belakang meminta antrian kami (rombongan Melayu) untuk memberi jalan karena akan lewat. Muthawwif dari rombongan lain di sisi kiri saya meminta rombongannya untuk tidak memberi jalan dan berbicara kepada kelompok itu dalam bahasa yang tidak saya kenal (karena saya cuma kenal bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris, hehe). Muthawwif saya juga ikut-ikutan berteriak ketika rombongan itu mencoba menerobos dari arah rombongan saya. Rupanya mereka ingin menyerobot antrian. Muthawwif saya berhasil mencegahnya. Sempat juga saya heran, mengapa beribadah harus demikian kacaunya? Tidak bisakah teratur kali ini saja, karena ini untuk urusan kebaikan. Banyak juga cerita jamaah yang bilang bahwa kami orang Melayu (kali ini saya masuk dalam kelompok ini, hehe) memang relatif mudah diatur dibanding ras yang lain.

Himbauan agar tertib mengantri
Tibalah saatnya kami menuju antrian terakhir sebelum masuk ke Raudhah. Kali ini antriannya berdiri. Kami memasuki ruangan yang dibatasi sekat dari terpal. Perasaan saya menjadi tidak enak ketika tiba-tiba kami berdesakan. Rupanya ada serombongan orang yang bukan ras Melayu yang masuk ke antrian kami. Masya Alloh, antriannya menjadi sangat sesak. Kami berdiri berdesakan, mirip seperti antrian BLT atau antrian daging kurban yang sering saya lihat di televisi. Saya, ibu, dan tante saya masih berusaha berpegangan bersama dengan rombongan. Tetapi, akhirnya saya tidak kuat menahan dorongan. Arah dorongan jamaah tidak teratur sehingga kadang saya merasa terhimpit atau terseret hingga akhirnya melepaskan pegangan tangan dengan rombongan.

Jika tidak salah hitung, ada sekitar sepuluh menit saya berada di situasi seperti itu: didesak dan didorong oleh jamaah. Saya sudah terpisah dari ibu dan tante saya, sudah tidak terpikir sama sekali di mana mereka semua. Yang saya lihat di sekitar adalah jamaah yang tinggi besar tadi. Saat itu saya merasa hanya Allah yang bisa menolong saya. Maka yang terucap dari mulut saya waktu itu hanyalah: laa haula wala quwwata illa billah berulang kali dan terus saya lafazkan. Sambil berdoa dalam hati, “Ya Allah.. mudahkanlah.. Saya hanya ingin berdoa di Raudhah”.

Sepuluh menit berlalu. Tubuh saya perlahan maju dari tempat semula. Sayup-sayup terdengar jamaah di belakang saya mengucapkan “Subhanallah..subhanallah”. Saya menengok ke belakang. Jamaah itu menundukkan kepala seolah mengarahkan saya untuk melihat ke bawah. Dan… apa yang saya lihat di bawah ternyata karpet hijau bermotif abu-abu. Subhanallah.. saya sudah masuk di Raudhah. Di sela-sela rasa kaget dan takjub itu, saya sempat bingung, setelah ini apa yang harus dilakukan? Ya Allah saya kehilangan konsentrasi sesaat saking tidak percaya. Saya tersadar kembali. Saya ingin shalat dua rakaat. Dan lagi-lagi, ada jamaah di depan saya seperti memberi isyarat bahwa tempat di depan saya agak longgar. Bismillah, saya mulai shalat dua rakaat dan berhasil menyelesaikannya dengan sempurna. Saya sempat melihat jamaah itu seolah-olah seperti menjaga tempat di depan saya untuk sujud. Bahkan saya sempat berdoa sampai saya merasa, kok saya belum diusir oleh askar seperti cerita orang-orang. Ah sudahlah..saya harus bergegas mencari ibu dan tante. Saya beranjak berdiri sembari menyeka air mata setelah kejadian yang mengaduk-aduk emosi tadi.

Batas antara karpet merah dan hijau: Raudhah!
Saya mengikuti petunjuk askar yang mengarahkan jamaah untuk keluar. Askar itu berteriak: keluar keluar..sambil mengarahkan ke sisi kanan dari posisi shalat. Karena arah dorongan jamaah yang tidak beraturan, perlu usaha yang ekstra untuk keluar. Saya mengikuti rombongan Indonesia yang ingin keluar juga. Saya menunggu ibu, tante, dan rombongan lain di tempat yang ditentukan oleh muthawaif. Alhamdulillah akhirnya saya bisa menyelesaikan misi malam ini. Pukul 23.30 kami kembali ke hotel.

Setelah keluar dari Raudhah pun masih sesak
Sepanjang perjalanan ke hotel kami bertukar cerita. Menurut muthawwif, kekacauan tadi jarang sekali terjadi. Hal ini disebabkan karena jamaah Iran menyerobot antrian kami. Tante saya bercerita dia berhasil shalat meskipun harus berpindah tempat. Sementara ibu saya, sayang sekali, tidak dapat kesempatan shalat di Raudhah. Jika sudah demikian, tidak perlu menyesal. Insya Allah sudah dicatat sebagai amal kebaikan karena Allah Maha Tahu apa yang ada di hati kita.

Jika cerita tadi boleh saya sebut keajaiban, maka ijinkan saya untuk berpendapat. Untuk urusan ini pasrahkan semua kepada Allah. Jamaah umroh adalah tamu Allah. Jadi, percayakan pada Tuan Rumah yang akan mengatur dan memudahkan segala urusan kita di sana. Tak hanya ketika umroh, juga termasuk urusan kita di dunia. Setuju bukan?