Sunday, February 10, 2013

Antara Buruk Sangka dan Waspada



Kemarin saya dan seorang teman hendak pulang ke kos di Kuningan dari daerah Senayan naik angkutan umum Kopaja 66. Sebenarnya naik angkutan jalur itu sudah biasa bagi kami berdua. Namun kemarin menjadi tidak biasa manakala kami satu mobil dengan copet.


Kami naik angkutan Kopaja 66 dari seberang Poda Metro Jaya. Kopaja yang kami naiki tidak begitu penuh dengan penumpang. Kami mencari dua kursi yang kosong, duduk di belakang sopir menghadap ke pintu keluar, persis seperti busway. Kadang memang ada kursi kopaja yang ditata demikian.
Setelah melewati jembatan Semanggi, sopir mengemudi dengan sangat ugal-ugalan. Dia menginjak gas dan mengerem secara bergantian dengan interval yang cukup pendek. Hal ini membuat kami harus mencari pegangan untuk menjaga keseimbangan. Bahkan penumpang yang hendak turun pun seperti sedang bertahan dalam gempa bumi. Hahaha..lebay ya..tapi memang begitu. Penumpang turun di Semanggi dengan tergesa-gesa. Bahkan seorang ibu yang membawa anak kecil pun mendapat perlakuan yang sama. Sopir ini tega sekali, pikir saya.

Kopaja kami berhenti cukup lama di halte Semanggi, menunggu penumpang pada hari libur yang memang tidak sebanyak pada hari kerja. Kopaja berjalan pelan meninggalkan halte Semanggi. Terlihat dari kejauhan beberapa pria hendak menaiki Kopaja ini. Saya tidak begitu memperhatikan mereka karena sedang membalas pesan singkat di ponsel saya. Tiba-tiba sopir berteriak, “Awas hati-hati ini copet semua yang mau naik..” Sopir lalu memberi saya isyarat untuk menyimpan ponsel. Saya spontan menyimpan ponsel di dalam tas tepat beberapa detik sebelum para pria itu masuk ke Kopaja. Antara percaya dan tidak percaya, akhirnya situasi ini saya alami juga. Sebelumnya saya hanya mendengar cerita pengalaman teman yang melihat adegan pencopetan di angkutan umum secara langsung.

Entah kenapa saya menjadi grogi setelah “pemberitahuan” dari sopir. Obrolan dengan teman saya pun terasa kaku. Saya lebih tertarik untuk mengamati pria-pria yang disebut sopir sebagai copet. Pandangan mata saya pertama kali tertuju pada pria yang berdiri di sekitar pintu belakang, tepat di belakang seorang penumpang. Pria itu mengamati penumpang di depannya yang sedang mendengarkan musik dengan headphone. Matanya seperti sedang menyapu sasaran. Saya mengalihkan pandangan, sepertinya lebih baik saya tidak perlu melihat adegan selanjutnya.

Sopir masih juga mengemudi dengan ugal-ugalan. Ketika ada penumpang yang hendak turun, terdengar sedikit kegaduhan di bagian belakang. Pikiran saya hanya tertuju pada barang bawaan, memegang erat tas, meski saya duduk jauh dari gerombolan itu. Tak lama kemudian, seorang dari gerombolan pria itu duduk di depan saya. Saya lemas, terlanjur ketakutan membayangkan jika nanti saya sudah sampai tujuan sementara masih ada pria-pria itu, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk. Saya berusaha menyembunyikan ketakutan, berusaha terlihat tenang.

Meskipun sopir mengemudi dengan kecepatan tinggi, bagi saya perjalanan terasa lama sekali hingga kami sampai di perempatan Kuningan. Pria-pria itu turun dari Kopaja. Terdengar salah satu pria berteriak, “Brisik lo..besok gak usah nyanyi-nyanyi..” Sopir itu dengan santai berkata, “Gak usah takut sama orang kaya gitu, lawan aja..makanya tadi saya teriakin ‘awas ini copet’..hari ini udah dua kali naik mobil saya..
Sopir bercerita panjang tentang kejadian tadi, menjawab semua kebingungan kami. Dan inilah jawabannya… 

Mengapa sopir ugal-ugalan sejak ada penumpang turun di Semanggi? Sopir sudah tahu bahwa ada satu orang anggota copet yang sudah naik di Kopaja. Dia sengaja menyetir ugal-ugalan, mengerem mendadak, menginjak gas-rem bergantian. Semua itu dia lakukan agar penumpang turun dengan cepat sehingga copet sulit beraksi. Pada umumnya, pencopetan terjadi ketika penumpang akan turun dari angkutan. Selain itu, jika Kopaja berjalan tidak stabil, copet akan sulit untuk menentukan sasaran ketika akan mencopet. Lalu mengapa para pria itu tahu bahwa sopir sudah memberitahu penumpang? Tentu saja, karena sudah ada satu pria yang berada di dalam Kopaja sebelum sekelompok pria itu naik.

Menurut sopir, kelompok pria itu adalah orang Batak. Biasanya mereka mencopet di Metromini 640. Dari arah Semanggi, copet Metromini 640  biasanya turun di putaran Patung Pancoran. Sedangkan copet yang beroperasi di Kopaja 66 biasanya hanya bertugas dari Senayan sampai Semanggi. Mungkin karena hari Sabtu, copet-copet itu berpindah trayek, hehe…

Sopir juga menceritakan ciri-ciri copet yang bisa dikenali dengan mudah. Biasanya, copet naik bergerombol. Sebagian di antaranya membawa tas ransel yang terlihat kosong, sebagian lainnya tidak membawa tas. Copet akan berdiri meskipun ada kursi kosong. Selain itu, posisi mereka berdiri cenderung menyebar. Ciri-ciri lainnya, copet biasanya tidak membayar ongkos penuh. Namun ciri-ciri ini hanya bisa diketahui jika kita melihat kernet menagih ongkos, dengan kata lain, jika mereka berada sangat dekat dengan kita. Hiii…
Tanpa terasa kami sampai di tempat tujuan. Kami sempatkan untuk berterima kasih pada sopir sebelum turun dengan lunglai. Hari itu saya belajar untuk tidak berburuk sangka pada sopir yang ugal-ugalan. Jangan berburuk sangka, tapi tetap waspada.