Saturday, February 18, 2012

Sederhana


Tiga puluh Oktober 2009 bisa jadi merupakan hari bersejarah bagi saya. Saat itu tepat dua bulan saya menghuni kamar baru. Status tak tentu sebagai jobseeker pada musim mahasiswa baru membuat saya dan teman sekamar saya terusir secara mendadak karena tidak bisa menyewa kamar perbulan di kosan kami yang lama. Alhasil, untuk menghemat pengeluaran, kami berdua menyewa kamar yang tidak luas, milik satu keluarga. Kamar harga murah, keluarga yang baik hati (kami tidak pernah membeli makan malam selama dua bulan tinggal di sana), juga Ama yang pintar (cucu ibu kos berusia lima tahun) menjadi warna hari-hari kami selama dua bulan terakhir.

Sejak hari itu, tiga puluh Oktober 2009, kehidupan saya berubah saat saya membuka browser Opera Mini dengan HP Nokia 6600 yang baru bisa saya miliki setelah launching lima tahun sebelumnya. Saya melihat nama saya muncul di layar. Seakan tidak percaya, saya butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu adalah nama saya. Seketika saya ucap hamdalah seraya sujud syukur, sampai lupa arah kiblat.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengabari orang tua di rumah. Gemetaran saya pencet HP.
“Halo, assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
“Bu, Alhamdulillah LIPI-nya ketrima..”
“Alhamdulillahirobbil ‘alamin.. ibu sampai nangis nih saking ga percaya..”

Maka selanjutnya pembicaraan berlanjut ke prosedur administratif tentang pemberkasan CPNS. Kapan saya akan pulang mengurus surat-surat, apa saja yang harus dibereskan, dan bagaimana dengan kegiatan saya di bimbel selama dua setengah bulan terakhir.

Tiga November 2009 saya datang ke LIPI Jakarta untuk menyerahkan berkas yang diperlukan. Hari itu juga saya diberitahu bahwa satuan kerja yang menerima saya meminta CPNS yang baru untuk mulai masuk pada tanggal 9 November.

Dalam jangka waktu enam hari saya harus kembali lagi ke Jakarta, mulai bekerja, untuk jangka waktu yang lama, jelas. Enam hari itu saya habiskan di Purwokerto dan di rumah, membereskan semua hal yang masih bisa saya kerjakan: membeli beberapa perlengkapan yang diperlukan di Jakarta, juga berkunjung sekaligus mohon doa restu ke rumah pakde-bude,karena nantinya saya akan jarang pulang dan otomatis jarang bertemu keluarga besar saya di Gombong.

Malam sebelum saya berangkat ke Jakarta, saat kami berdua tengah lelah mengepak barang-barang, saat itu ibu saya duduk bersandar pada kursi sofa hasil permak tukang mebel yang bekerja di toko bude saya. Ibu saya berkata,

Kok kamu malah jadinya di Jakarta ya..?”
Lho bu..dulu waktu daftar kan penginnya diterima..”
“Iya..tapi kok jauh banget jadinya di sana..”
“Bu..jangan bilang begitu ya..”
“Iya ya..orang-orang yang denger kabar ini juga pada seneng, kok ibu yang punya anak malah ga seneng ya..”

Sabtu malam kami berangkat ke Jakarta. Sudah ditetapkan sebelumnya bahwa saya akan tinggal di rumah bude yang tidak jauh dari kantor saya, hanya berjarak 7 km, agar lebih mudah beradaptasi mengenal ibu kota. Kereta kami sampai di Jakarta minggu pagi, sebelum subuh. Sepupu saya menjemput saya dan ibu saya di stasiun Jatinegara.

Sesampai di rumah bude, ibu saya mendapat ucapan selamat dari pakde dan bude. Mereka, tentu saja, ikut bangga karena saya bisa diterima bekerja di Jakarta. Obrolan hari itu beragam, mulai dari kabar saudara-saudara di Gombong, sampai transportasi dari rumah bude ke kantor saya, juga tentang permohonan ibu saya agar mereka, pakde dan bude, bersedia dititipi saya.

Senin pagi, sembilan November 2009. Hari pertama saya masuk kerja. Pukul setengah tujuh saya berangkat. Pakde akan mengantar saya sampai kantor, menemani saya naik angkutan umum, katanya supaya ibu saya tenang. Pagi itu juga ibu saya pulang ke Gombong menggunakan kereta pagi, karena tidak bisa berlama-lama minta ijin tidak mengajar.

Saat saya akan berangkat, ibu mencium pipi saya seolah kami lama tidak akan bertemu. Seketika itu pula saya tersadar bahwa kedatangan saya ke Jakarta kali ini bukan untuk liburan atau jalan-jalan atau mengunjungi saudara.

“Ibu pengin liat kantormu, tapi takut nanti ngerepotin mas Wisnu buru-buru nganter ke stasiunnya..”

Kata-kata itu masih terngiang di telinga saya, hingga saat saya menuliskan postingan ini. Ternyata sederhana sekali keinginannya. Dan meskipun sederhana, ibu saya belum bisa mendapatkannya. Saya berjanji, suatu saat saya akan memenuhi keinginan sederhana itu.

***

Delapan belas Februari 2012. Sudah dua tahun lebih saya turut menjadi pemain yang meramaikan Jakarta, bergerak dinamis mengikuti persaingan ibu kota, persaingan dalam segala hal. Pagi-pagi saya menjemput ibu dan bapak di stasiun Pasar Senen. Besok kami akan menghadiri pernikahan sepupu saya. Pagi ini hingga sore nanti sebelum kami bertiga ke rumah bude, bapak dan ibu akan beristirahat di kos-kosan saya. Sejak tahun kedua saya menjadi anak kos, belajar lebih mandiri.

Sabtu sore, sebelum kami menuju rumah bude, saya membawa mereka berdua melihat gedung kantor saya. Meski tidak bisa masuk dan melihat meja kerja saya, saya lega. Karena akhirnya keinginan sederhana itu bisa saya penuhi.

Untuk ibu dan bapak.