Perjuangan mendapatkan suntik meningitis berlanjut hari ini
karena kesalahan kemarin. Saya berangkat jam 5 pagi setelah mandi dan sholat
subuh. Pukul 5.40 saya sampai di Rumah Sakit Haji daerah Pinang Ranti, Jakarta
Timur. Seorang teman memberi tahu bahwa rumah sakit ini juga melayani suntik
meningitis berdasakan pengalamannya. Sebelum saya masuk dan berkelana lebih
jauh, saya menanyakan lokasi untuk suntik meningitis pada satpam di pintu
gerbang. Dan…. Taraaa…ternyata pak satpam bilang RS Haji ini tidak melayani
suntik meningitis. Satpam itu menanyakan, mungkin yang dimaksud adalah Rumah
Sakit Halim. Saya mencoba menelepon teman yang memberi referensi untuk “meminta
penjelasan” tetapi tidak ada respon. Saya teliti lagi informasi dari blog.
Nomor telepon yang kemarin saya telepon memang bertuliskan Bandara Halim PK.
Saya melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit Halim PK. Cukup jauh ternyata.
Menurut penjaga lalu lintas, masih berjarak sekitar 5 kilometer dari RS Haji.
Hampir setiap 1 km, saya bertanya pada orang yang ditemui di
pinggir jalan, daripada salah terlalu jauh, pikir saya. Akhirnya, pencarian
berakhir. Pukul 6.30 saya sampai di lokasi. Lokasi untuk suntik meningitis ada
di dalam komplek Bandara Halim PK, di sebuah bangunan bertuliskan Divisi Teknik
di sebelah kiri dari arah pintu masuk, sebelum sampai ke terminal keberangkatan
dan kedatangan. Saat saya sampai di sana, suasana masih sepi. Petugas
kebersihan yang saya tanya, memberi tahu bahwa tempat suntik meningitis ada di
belakang gedung, melewati pintu kecil di samping kiri gedung Divisi Teknik.
Di belakang gedung Divisi Teknik, ada sekitar 30 orang yang
sudah duduk di ruang tunggu. Ruang tunggu nya jauh dari layak bo! Antrian tidak
menggunakan nomor yang diambil. Pasien yang akan suntik meningitis menuliskan
namanya di selembar kertas folio yang bertanggal hari itu (Kamis, 2 Januari
2014). Saya bergegas menuju ke meja antrian sambil berdoa semoga masih sepi dan
bisa dapat nomor antrian kecil. Tapiiii alangkah terkejutnya saya, ketika baris
terakhir sudah menunjukkan nomor 155. Artinya… saya mendapat nomor 156.
Loket baru dibuka pukul 8 pagi, tetapi saat itu, pukul 6.30
antrian sudah sampai pada nomor 150an. Kebanyakan orang yang mengantri di sana
adalah petugas dari biro perjalanan yang membantu jamaahnya. Bisa jadi, satu
orang menuliskan 20, bahkan 50 orang. Inilah yang membuat nomor antrian sangat
laris meskipun kelihatannya baru ada sedikit pasien yang mengantri, hehe.
Seorang ibu yang mendapat nomor 24 rupanya telah didaftarkan oleh anaknya pada
jam 2 dini hari (!).
Tak butuh waktu lama untuk akrab dengan pasien yang sedang
menunggu. Mungkin, karena mereka ini adalah orang-orang yang akan berangkat
haji, umroh, atau orang yang dekat dengan dunia itu (misal pengelola biro
perjalanan). Lalu mengalirlah cerita seputar ibadah umroh, haji, dan suasana di
kota Mekkah menurut mereka yang sudah pernah ke sana. Mulai dari berapa kali
mereka berangkat umroh (salut untuk suami istri yang sudah dua kali berangkat
umroh dan akan berangkat untuk ketiga kalinya bersama anak-anaknya) sampai
ketatnya bandara di Jeddah untuk pemeriksaan mahram. Di sela-sela obrolan itu
saya mencari informasi kira-kira sampai nomor antrian berapa yang bisa
diselesaikan sebelum jam istirahat siang. Seorang pria dari agen memberi tahu
biasanya sebelum istirahat sekitar 100 pasien yang dilayani. Wah, mesti
bersabar menunggu antrian sampai istirahat siang (!).
Sembari mengobrol, saya sempat melihat seorang wanita dari
etnis Tionghoa yang duduk di antara pasien yang mengantri. Agak aneh bagi saya
melihatnya. Tetapi saya berusaha berasumsi bahwa tidak hanya Saudi Arabia yang
menjadi daerah endemik meningitis, mungkin saja wanita itu akan bepergian ke
negara yang memang mensyaratkan imunisasi meningitis seperti jamaah umroh.
Sekitar pukul 7 pagi penilaian saya terbukti salah ketika
seorang laki-laki datang membawa kardus berisi jajanan. Ternyata si Cici
(sebutan untuk wanita Tionghoa) itu adalah penjual makanan kecil di ruang
tunggu pasien, hehe. Si Cici tidak cuma menjual makanan lho, dia juga menjual
pulpen dan clip paper. Hihi..mungkin naluri bisnisnya membuat dia berekspansi
ke komoditas dagang lainnya (halah!). Dengan cekatan si Cici itu mengedarkan
pulpen dan clip paper ke pada pasien.
Dia berseru, “Yang butuh pulpen untuk ngisi formulir…Clip papernya biar
ga kececer..” Saya asyik mengamatinya berjualan. Ada seorang bapak-bapak
membeli clip paper, seribu rupiah untuk lima biji clip paper. Hihi..saya
mengagumi kegigihan Cici itu berjualan, ada saja yang bisa diubah menjadi
rupiah. Ada keinginan untuk ikut membeli clip paper, karena persyaratan yang
lebih dari satu dokumen dikhawatirkan akan tercecer bila memang harus
diserahkan ke petugas. Tapi yang menang adalah arogansi saya, tidak terima jika
membeli barang dengan harga yang fantastis, yah maklum, aji mumpung saat orang
membutuhkan.
Tak berapa lama, bapak-bapak yang membeli clip paper tadi berjalan
berkeliling ke deretan tempat saya duduk. Rupanya dia menawarkan clip paper
yang barusan dia beli. “Silakan siapa yang butuh ini, ambil aja mba..bu.. Awas
jangan ketahuan juragannya..” Dia berkeliling sambil membelakangi si Cici yang sedang
berjualan ke arah seberang supaya tidak terlihat sedang membagikan clip paper.
Hihi..lucu juga si bapak ini. Alhamdulillah ya, mungkin karena orang-orang ini
adalah mereka yang mendapat panggilan untuk datang ke Baitullah, sikap dan
perilaku mereka sepertinya sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Bersabar
menunggu antrian, saling membantu..saya merasakannya.
Pukul 9, setelah satu jam pelayanan dibuka, saya melihat
nomor antrian di layar. Sekedar mencari tahu berapa pasien yang dilayani dalam
satu jam. Nomor antrian menunjukkan angka 54. Hmm.jadi jika saya rata-rata,
dalam satu jam, klinik bisa melayani sekitar 50 pasien. Baiklah, sepertinya
saya baru akan dipanggil pada satu jam keempat dari pukul 8, artinya setelah
pukul 11 saya baru akan dipanggil.
Sembari menunggu sampai pukul 11, saya mencari tempat yang
lebih nyaman untuk menyalakan laptop di depan gedung Divisi Teknik. Rupanya di
sana juga sudah lumayan penuh dengan pasien yang menunggu. Konsekuensi
meninggalkan kantor pada saat jam kerja adalah tetap mengerjakan pekerjaan.
Saya tidak mau kecolongan seperti saat membuat paspor: menunggu dengan percuma,
hehe.
ini sambungannya mana ? *nanggung
ReplyDeleteHai yulia..terima kasih sudah mampir..
DeleteIya maaf belum sempat terselesaikan :D
Tapi jika ada pertanyaan, sila tanya di sini...
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteberapa biaya yang dikeluarkan untuk suntik meningistis di Halim ya mba? Barusan ngecek di DKK Bogor, untuk meningistis dikenakan Rp.400.000. dan karena skr lagi santer virus corona, vaksinnya Rp,300.000 dan vaksin flu Rp.150.000
ReplyDeleteHai Wiwied..terima kasih sudah mampir.
DeleteKalo saya tidak salah ingat, di Halim biayanya 300ribu..
Untuk vaksin flu 150 ribu juga..
Dulu saya tidak nambah vaksin flu, karena ga bawa uang cash lebih..kalo bisa sih ambil aja, karena itu vaksin tahan sampai 2 tahun. Jadi selama 2 tahun kita tidak kena flu insya Allah..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteutk vaksin meningitis tahan berapa lama ya mba? sebaiknya dilakukan brp lama sblm keberangkatan umroh?
ReplyDeleteHai Risma...salam kenal.
DeleteVaksin meningitis bekerja setelah 10 hari dan efektif sampai 2 tahun...