Thursday, January 2, 2014

Suntik Meningitis (bagian 2)


Perjuangan mendapatkan suntik meningitis berlanjut hari ini karena kesalahan kemarin. Saya berangkat jam 5 pagi setelah mandi dan sholat subuh. Pukul 5.40 saya sampai di Rumah Sakit Haji daerah Pinang Ranti, Jakarta Timur. Seorang teman memberi tahu bahwa rumah sakit ini juga melayani suntik meningitis berdasakan pengalamannya. Sebelum saya masuk dan berkelana lebih jauh, saya menanyakan lokasi untuk suntik meningitis pada satpam di pintu gerbang. Dan…. Taraaa…ternyata pak satpam bilang RS Haji ini tidak melayani suntik meningitis. Satpam itu menanyakan, mungkin yang dimaksud adalah Rumah Sakit Halim. Saya mencoba menelepon teman yang memberi referensi untuk “meminta penjelasan” tetapi tidak ada respon. Saya teliti lagi informasi dari blog. Nomor telepon yang kemarin saya telepon memang bertuliskan Bandara Halim PK. Saya melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit Halim PK. Cukup jauh ternyata. Menurut penjaga lalu lintas, masih berjarak sekitar 5 kilometer dari RS Haji.

Hampir setiap 1 km, saya bertanya pada orang yang ditemui di pinggir jalan, daripada salah terlalu jauh, pikir saya. Akhirnya, pencarian berakhir. Pukul 6.30 saya sampai di lokasi. Lokasi untuk suntik meningitis ada di dalam komplek Bandara Halim PK, di sebuah bangunan bertuliskan Divisi Teknik di sebelah kiri dari arah pintu masuk, sebelum sampai ke terminal keberangkatan dan kedatangan. Saat saya sampai di sana, suasana masih sepi. Petugas kebersihan yang saya tanya, memberi tahu bahwa tempat suntik meningitis ada di belakang gedung, melewati pintu kecil di samping kiri gedung Divisi Teknik.


Di belakang gedung Divisi Teknik, ada sekitar 30 orang yang sudah duduk di ruang tunggu. Ruang tunggu nya jauh dari layak bo! Antrian tidak menggunakan nomor yang diambil. Pasien yang akan suntik meningitis menuliskan namanya di selembar kertas folio yang bertanggal hari itu (Kamis, 2 Januari 2014). Saya bergegas menuju ke meja antrian sambil berdoa semoga masih sepi dan bisa dapat nomor antrian kecil. Tapiiii alangkah terkejutnya saya, ketika baris terakhir sudah menunjukkan nomor 155. Artinya… saya mendapat nomor 156.


Loket baru dibuka pukul 8 pagi, tetapi saat itu, pukul 6.30 antrian sudah sampai pada nomor 150an. Kebanyakan orang yang mengantri di sana adalah petugas dari biro perjalanan yang membantu jamaahnya. Bisa jadi, satu orang menuliskan 20, bahkan 50 orang. Inilah yang membuat nomor antrian sangat laris meskipun kelihatannya baru ada sedikit pasien yang mengantri, hehe. Seorang ibu yang mendapat nomor 24 rupanya telah didaftarkan oleh anaknya pada jam 2 dini hari (!).

Tak butuh waktu lama untuk akrab dengan pasien yang sedang menunggu. Mungkin, karena mereka ini adalah orang-orang yang akan berangkat haji, umroh, atau orang yang dekat dengan dunia itu (misal pengelola biro perjalanan). Lalu mengalirlah cerita seputar ibadah umroh, haji, dan suasana di kota Mekkah menurut mereka yang sudah pernah ke sana. Mulai dari berapa kali mereka berangkat umroh (salut untuk suami istri yang sudah dua kali berangkat umroh dan akan berangkat untuk ketiga kalinya bersama anak-anaknya) sampai ketatnya bandara di Jeddah untuk pemeriksaan mahram. Di sela-sela obrolan itu saya mencari informasi kira-kira sampai nomor antrian berapa yang bisa diselesaikan sebelum jam istirahat siang. Seorang pria dari agen memberi tahu biasanya sebelum istirahat sekitar 100 pasien yang dilayani. Wah, mesti bersabar menunggu antrian sampai istirahat siang (!).

Sembari mengobrol, saya sempat melihat seorang wanita dari etnis Tionghoa yang duduk di antara pasien yang mengantri. Agak aneh bagi saya melihatnya. Tetapi saya berusaha berasumsi bahwa tidak hanya Saudi Arabia yang menjadi daerah endemik meningitis, mungkin saja wanita itu akan bepergian ke negara yang memang mensyaratkan imunisasi meningitis seperti jamaah umroh. 

Sekitar pukul 7 pagi penilaian saya terbukti salah ketika seorang laki-laki datang membawa kardus berisi jajanan. Ternyata si Cici (sebutan untuk wanita Tionghoa) itu adalah penjual makanan kecil di ruang tunggu pasien, hehe. Si Cici tidak cuma menjual makanan lho, dia juga menjual pulpen dan clip paper. Hihi..mungkin naluri bisnisnya membuat dia berekspansi ke komoditas dagang lainnya (halah!). Dengan cekatan si Cici itu mengedarkan pulpen dan clip paper ke pada pasien.  Dia berseru, “Yang butuh pulpen untuk ngisi formulir…Clip papernya biar ga kececer..” Saya asyik mengamatinya berjualan. Ada seorang bapak-bapak membeli clip paper, seribu rupiah untuk lima biji clip paper. Hihi..saya mengagumi kegigihan Cici itu berjualan, ada saja yang bisa diubah menjadi rupiah. Ada keinginan untuk ikut membeli clip paper, karena persyaratan yang lebih dari satu dokumen dikhawatirkan akan tercecer bila memang harus diserahkan ke petugas. Tapi yang menang adalah arogansi saya, tidak terima jika membeli barang dengan harga yang fantastis, yah maklum, aji mumpung saat orang membutuhkan. 

Tak berapa lama, bapak-bapak yang membeli clip paper tadi berjalan berkeliling ke deretan tempat saya duduk. Rupanya dia menawarkan clip paper yang barusan dia beli. “Silakan siapa yang butuh ini, ambil aja mba..bu.. Awas jangan ketahuan juragannya..” Dia berkeliling sambil membelakangi si Cici yang sedang berjualan ke arah seberang supaya tidak terlihat sedang membagikan clip paper. Hihi..lucu juga si bapak ini. Alhamdulillah ya, mungkin karena orang-orang ini adalah mereka yang mendapat panggilan untuk datang ke Baitullah, sikap dan perilaku mereka sepertinya sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Bersabar menunggu antrian, saling membantu..saya merasakannya.

Pukul 9, setelah satu jam pelayanan dibuka, saya melihat nomor antrian di layar. Sekedar mencari tahu berapa pasien yang dilayani dalam satu jam. Nomor antrian menunjukkan angka 54. Hmm.jadi jika saya rata-rata, dalam satu jam, klinik bisa melayani sekitar 50 pasien. Baiklah, sepertinya saya baru akan dipanggil pada satu jam keempat dari pukul 8, artinya setelah pukul 11 saya baru akan dipanggil.
Sembari menunggu sampai pukul 11, saya mencari tempat yang lebih nyaman untuk menyalakan laptop di depan gedung Divisi Teknik. Rupanya di sana juga sudah lumayan penuh dengan pasien yang menunggu. Konsekuensi meninggalkan kantor pada saat jam kerja adalah tetap mengerjakan pekerjaan. Saya tidak mau kecolongan seperti saat membuat paspor: menunggu dengan percuma, hehe. 

Pukul 10.30 pasien yang duduk di sebelah saya mengecek nomor antrian di belakang gedung, dia bilang sudah sampai nomor 140. Saya bergegas menuju ruang tunggu di belakang. Pukul 11 nama saya dipanggil. Persyaratan berupa formulir dan pasfoto dipegang oleh masing-masing pasien.



(to be continued...)

8 comments:

  1. ini sambungannya mana ? *nanggung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai yulia..terima kasih sudah mampir..
      Iya maaf belum sempat terselesaikan :D
      Tapi jika ada pertanyaan, sila tanya di sini...

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. berapa biaya yang dikeluarkan untuk suntik meningistis di Halim ya mba? Barusan ngecek di DKK Bogor, untuk meningistis dikenakan Rp.400.000. dan karena skr lagi santer virus corona, vaksinnya Rp,300.000 dan vaksin flu Rp.150.000

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Wiwied..terima kasih sudah mampir.
      Kalo saya tidak salah ingat, di Halim biayanya 300ribu..
      Untuk vaksin flu 150 ribu juga..
      Dulu saya tidak nambah vaksin flu, karena ga bawa uang cash lebih..kalo bisa sih ambil aja, karena itu vaksin tahan sampai 2 tahun. Jadi selama 2 tahun kita tidak kena flu insya Allah..

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. utk vaksin meningitis tahan berapa lama ya mba? sebaiknya dilakukan brp lama sblm keberangkatan umroh?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Risma...salam kenal.
      Vaksin meningitis bekerja setelah 10 hari dan efektif sampai 2 tahun...

      Delete