Tuesday, December 13, 2011

2011 South East Asian Regional Workshop on Science, Technology, and Innovation Indicators

 Awal Desember lalu saya berkesempatan mengikuti “2011 South East Asian Regional Workshop on Science, Technology, and Innovatio Indicator”. Workshop ini diadakan oleh Unesco Institute of Statistics bekerja sama dengan Natioanal Science and Technology Information (NASATI) Vietnam selama empat hari dari tanggal 5 – 8 Desember 2011. UIS adalah lembaga di bawah Unesco yang mengumpulkan data-data (statistik) yang dibutuhkan oleh Unesco. Sedangkan Nasati merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data tentang iptek di Vietnam.
Workshop ini diadakan untuk memberikan pengetahuan tentang prosedur dan manual pelaksanaan survei iptek bagi  para pelaksana survei iptek di negara-negara Asean. Workshop ini dibuka oleh Dr. Le Dinh Tien , Vice Minister of Science and Technology Vietnam (paling kanan). Dalam acara opening ceremony juga hadir Simon Ellis (paling kiri) yang merupakan Regional Advisor South Asia and the Pacific, UNESCO Institute for Statistics, Mrs. Katherine Muller – Marin dari perwakilan Unesco Hanoi, dan Dr. Ta Ba HUng, Director General NASATI (ketiga dari kiri). Ketiga pembicara itu menekankan pentingnya iptek dan indikator iptek sebagai informasi dalam mendukung penyusunan kebijakan iptek yang akan memajukan suatu negara. Saya, dan dua rekan dari kantor, menjadi perwakilan Indonesia dalam workshop ini. Peserta lainnya yang hadir antara lain perwakilan dari negara Vietnam (jelas lah, kan tuan rumah, hehe), Laos, Thailand, Myanmar, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Hongkong.

 Simon Ellis, Katherine, Dr. Ta Ba Hung, dan Dr. Le Dinh Tien

Workshop diadakan selama empat hari mulai pukul 09.00 hingga pukul 18.00. Materi yang disampaikan dalam workshop ini menyangkut kegiatan litbang (definisi, pengukuran tenaga litbang, dan pengukuran belanja litbang) dan inovasi. Selama empat hari, kami dipandu oleh Martin Schaaper sebagai Program Specialist dari UIS. Selama dua hari pertama, Martin yang berasal dari US memandu acara sekaligus menyampaikan materi. Sesekali Simon memberikan masukan ketika diskusi mulai membingungkan. Bagi saya, lebih mudah untuk memahami perkataan Martin daripada ketika memahami perkataan Simon yang berkebangsaan Inggris. Benar juga kata orang-orang, logat British lebih susah daripada US. 

Pada hari ketiga, selain Martin, Zahia Salmi yang berkebangsaan Maroko, menyampaikan materi tentang belanja litbang. Hari keempat, kami belajar tentang inovasi dipandu oleh Luciana Marins, perempuan berkebangsaan Brazil  bergelar doktor dalam bidang inovasi. Seorang teman yang sempat mengobrol dengan Luciana, mengatakan bahwa sebelum Luciana lulus doktor, Unesco sudah “memesan” untuk merekrutnya. Wow, saya tidak bisa membayangkan seperti apa pintarnya perempuan itu.

Zahia Salmi, Saya, Martin Schaaper, rekan saya (Nani Grace), dan Luciana Marins

Menjelang makan siang pada hari keempat kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Martin dengan gayanya yang kocak berkata, “We will have a family-picture session. Let’s come here everybody..” Hihihi…saya merasakan keakraban ketika Martin menyebut kata “family picture”. Memang selama empat hari kami berinteraksi, perlahan-lahan menjadi akrab. Sewaktu mengobrol dengan peserta dari Malaysia misalnya. Saya tidak terbesit mengenai insiden laser pada pertandingan final piala AFF dengan Malaysia. Tidak juga tentang kesenian angklung yang diklaim oleh Malaysia. 

Foto Keluarga ^_^

Pada akhir acara, kami mendapatkan sertifikat. Satu persatu peserta dipanggil untuk menerima sertifikat dari Martin. Setiap peserta yang menerima sertifikat tentu saja difoto terlebih dahulu, seperti wisuda saja, hehe.. karena sesi foto-foto ini, penutupan jadi terasa agak lama..


Workshop ini menjadi pengalaman menarik bagi saya. Banyak ilmu yang saya dapatkan, terutama ilmu untuk mendukung pekerjaan saya. Dan satu hal lagi, ternyata berbicara bahasa Inggris tidak sesulit yang saya bayangkan. Lawan bicara kita sepertinya memaklumi karena kita berasal dari negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Tidak seperti orang Philippines, Hongkong, Macau, dan Malaysia yang termasuk lancar berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan sepertinya mereka bisa memahami apa yang akan kita sampaikan, asalkan keyword-nya jelas..

No comments:

Post a Comment