Hari pertama di Madinah masih terasa istimewa. Shalat subuh pagi
tadi yang sangat luar biasa. Perasaan takjub masih menghiasi pikiran kami. Ada satu
lagi yang istimewa untuk saya ceritakan di hari pertama di Madinah ini: tentang
Raudhah.
Raudhah adalah tempat/ruangan antara mimbar Rasulullah dengan
rumahnya. Nama Raudhah sendiri dalam bahasa Arab berarti taman. Dahulu, masjid yang didirikan oleh Rasulullah berada di luar
rumahnya. Tetapi, dengan adanya perluasan Masjid Nabawi, rumah Rasulullah menjadi terletak di dalam
Masjid Nabawi. Lokasi yang dahulu merupakan rumah Rasulullah ini sekarang
menjadi makam Rasulullah.
Lalu, apa istimewanya Raudhah? Ada sebuah hadits yang menyebutkan:
“Antara rumahku dengan mimbarku adalah Raudhah di antara taman-taman surga” (HR. Bukhari no. 1196)
Tempat yang disebut Raudhah tidak begitu luas. Luas Raudhah dari arah Timur ke Barat sepanjang 22 m dan dari Utara ke
Selatan sepanjang 15 m . Luasnya yang hanya 144 meter persegi tak
sebanding dengan jutaan jamaah yang berebut ingin masuk ke sana. Yang bisa mengetahui
persis letak Raudhah adalah jamaah laki-laki karena arah Raudhah adalah arah
kiblat (otomatis jamaah laki-laki berada di barisan depan). Jika tempat sholat
di Masjid Nabawi beralaskan karpet merah, maka Raudhah katanya ditandai dengan
karpet hijau dengan motif abu-abu. Jamaah haji atau umroh yang berada di Madinah, biasanya akan
menyempatkan berdoa di Raudhah. Tempat ini tak pernah sepi, menjadi
tempat yang paling afdhal untuk memanjatkan doa.
Motif karpet yang menentukan batas area Raudhah |
Nah sekarang sudah tahu kan apa keistimewaan dari Raudhah. Siapa di
antara teman-teman yang ingin berdoa di Raudhah? Saya yakin, semuanya pasti
ingin memanjatkan doa di sana. Nah, ini baru teman-teman saya. Sementara masih
ada saudara muslim seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, juga ingin
memanjatkan doa di sana. Hihi…
Kunjungan ke Raudhah diatur untuk jamaah laki-laki dan perempuan.
Ada dua waktu, yaitu setelah isya atau setelah subuh. Kedua waktu ini dipilih
karena jarak sholat wajib berikutnya cukup panjang sehingga tidak mengganggu
pelaksanaan sholat wajib berjamaah. Jadwal jamaah perempuan pada hari itu
setelah isya. Sedangkan jadwal untuk jamaah laki-laki setelah subuh.
Setelah shalat isya dan makan malam di hotel, sekitar pukul 9 malam
kami berkumpul di pelataran Masjid Nabawi dibimbing oleh muthawwif perempuan
(karena akan mengunjungi Raudhah). Saat kami masuk ke masjid, ada yang berbeda
rupanya. Di bagian terdepan yang bisa digunakan jamaah perempuan untuk sholat,
ada sekat kayu yang dibuka. Di kanan kiri sekat yang dibuka, rupanya dipasang
semacam bilik dari terpal yang seolah-olah membentuk labirin. Rasa penasaran
saya akan gulungan terpal di beberapa tiang masjid terjawab sudah. Ternyata
terpal itu digunakan untuk membentuk jalan menuju Raudhah.
Antrian jamaah yang ingin ziarah ke Raudhah diatur menurut ras.
Kedengarannya aneh ya? Atau ini seperti mengarah ke SARA? Hihi… bukan.
Setidaknya saya menduga ada dua tujuan mengapa antriannya dipisahkan menurut
ras. Pertama, agar askar yang menjaga mudah untuk mengatur jamaah karena dalam
satu ras biasanya menggunakan bahasa yang sama. Kedua, hal ini untuk kebaikan
jamaah juga, terutama jamaah Melayu (termasuk Indonesia) yang berbadan kecil.
Gak kebayang kan kalo orang Indonesia yang berbadan kecil harus antri
berdesakan bersama orang Iran yang tinggi besar.
Muthawwif membimbing kami menelusuri labirin. Untuk masuk ke
Raudhah, setidaknya kami perlu antri di tiga titik. Pada antrian pertama dan
kedua kami mengantri dengan duduk. Jika tidak ada muthawwif yang membimbing,
atau jika ingin ziarah lagi di luar jadwal yang ditetapkan biro travel, kita
bisa mengikuti rombongan lain yang sedang dibimbing oleh muthawwif. Atau cara
lain, tinggal ikuti askar saja. Biasanya setelah isya para askar memegang
tulisan besar untuk masing-masing ras: Melayu (termasuk Indonesia), Turki,
Pakistan, dan sebagainya.
Di sela-sela antrian, kami juga dituntun memanjatkan shalawat dan
salam kepada Rasulullah karena sebentar lagi akan menuju makam Rasulullah. Muthawwif
juga memberi penjelasan tentang tata cara berdoa di Raudhah. Jika sempat dan
memungkinkan, shalatlah dua rakaat di Raudhah kemudian panjatkan doa. Tetapi
menurut beberapa informasi dan pengalaman yang saya temukan di blog, berdoalah
ketika sedang sujud terakhir. Kenapa? Karena jamaah yang mengantri untuk berdoa
di Raudhah sangat sangat banyak. Sehingga jika kita telah selesai shalat dan
terlalu lama berdoa, askar alias penjaga masjid akan meminta kita untuk segera
beranjak.
Muthawwif juga menujukkan letak makam Rasulullah ketika antrian kami
semakin dekat. Apa yang saya rasakan? Ketika baru melihat warna hijau
bertuliskan huruf arab berwarna emas, saya merinding. Itu adalah bagian atas
dari dinding ruangan tempat di mana Rasulullah dimakamkan. Rasulullah, yang
saya kenal namanya dari orang tua dan guru-guru saya, sosok yang berjarak 15
abad yang lalu, sekarang jasadnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat
saya duduk bersila.
Saat mengantri, ada sedikit keributan. Sekelompok jamaah memakai
baju gelap, bertubuh tinggi besar, datang dari arah belakang meminta antrian
kami (rombongan Melayu) untuk memberi jalan karena akan lewat. Muthawwif dari
rombongan lain di sisi kiri saya meminta rombongannya untuk tidak memberi jalan
dan berbicara kepada kelompok itu dalam bahasa yang tidak saya kenal (karena
saya cuma kenal bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris, hehe). Muthawwif saya juga
ikut-ikutan berteriak ketika rombongan itu mencoba menerobos dari arah
rombongan saya. Rupanya mereka ingin menyerobot antrian. Muthawwif saya
berhasil mencegahnya. Sempat juga saya heran, mengapa beribadah harus demikian
kacaunya? Tidak bisakah teratur kali ini saja, karena ini untuk urusan
kebaikan. Banyak juga cerita jamaah yang bilang bahwa kami orang Melayu (kali
ini saya masuk dalam kelompok ini, hehe) memang relatif mudah diatur dibanding
ras yang lain.
Himbauan agar tertib mengantri |
Tibalah saatnya kami menuju antrian terakhir sebelum masuk ke
Raudhah. Kali ini antriannya berdiri. Kami memasuki ruangan yang dibatasi sekat
dari terpal. Perasaan saya menjadi tidak enak ketika tiba-tiba kami berdesakan.
Rupanya ada serombongan orang yang bukan ras Melayu yang masuk ke antrian kami.
Masya Alloh, antriannya menjadi sangat sesak. Kami berdiri berdesakan, mirip
seperti antrian BLT atau antrian daging kurban yang sering saya lihat di
televisi. Saya, ibu, dan tante saya masih berusaha berpegangan bersama dengan
rombongan. Tetapi, akhirnya saya tidak kuat menahan dorongan. Arah dorongan
jamaah tidak teratur sehingga kadang saya merasa terhimpit atau terseret hingga
akhirnya melepaskan pegangan tangan dengan rombongan.
Jika tidak salah hitung, ada sekitar sepuluh menit saya berada di
situasi seperti itu: didesak dan didorong oleh jamaah. Saya sudah terpisah dari
ibu dan tante saya, sudah tidak terpikir sama sekali di mana mereka semua. Yang
saya lihat di sekitar adalah jamaah yang tinggi besar tadi. Saat itu saya
merasa hanya Allah yang bisa menolong saya. Maka yang terucap dari mulut saya
waktu itu hanyalah: laa haula wala quwwata illa billah berulang kali dan terus
saya lafazkan. Sambil berdoa dalam hati, “Ya Allah.. mudahkanlah.. Saya hanya
ingin berdoa di Raudhah”.
Sepuluh menit berlalu. Tubuh saya perlahan maju dari tempat semula.
Sayup-sayup terdengar jamaah di belakang saya mengucapkan
“Subhanallah..subhanallah”. Saya menengok ke belakang. Jamaah itu menundukkan
kepala seolah mengarahkan saya untuk melihat ke bawah. Dan… apa yang saya lihat
di bawah ternyata karpet hijau bermotif abu-abu. Subhanallah.. saya sudah masuk
di Raudhah. Di sela-sela rasa kaget dan takjub itu, saya sempat bingung,
setelah ini apa yang harus dilakukan? Ya Allah saya kehilangan konsentrasi sesaat
saking tidak percaya. Saya tersadar kembali. Saya ingin shalat dua rakaat. Dan
lagi-lagi, ada jamaah di depan saya seperti memberi isyarat bahwa tempat di
depan saya agak longgar. Bismillah, saya mulai shalat dua rakaat dan berhasil
menyelesaikannya dengan sempurna. Saya sempat melihat jamaah itu seolah-olah
seperti menjaga tempat di depan saya untuk sujud. Bahkan saya sempat berdoa
sampai saya merasa, kok saya belum diusir oleh askar seperti cerita
orang-orang. Ah sudahlah..saya harus bergegas mencari ibu dan tante. Saya
beranjak berdiri sembari menyeka air mata setelah kejadian yang mengaduk-aduk
emosi tadi.
Batas antara karpet merah dan hijau: Raudhah! |
Saya mengikuti petunjuk askar yang mengarahkan jamaah untuk keluar.
Askar itu berteriak: keluar keluar..sambil mengarahkan ke sisi kanan dari posisi
shalat. Karena arah dorongan jamaah yang tidak beraturan, perlu usaha yang
ekstra untuk keluar. Saya mengikuti rombongan Indonesia yang ingin keluar juga.
Saya menunggu ibu, tante, dan rombongan lain di tempat yang ditentukan oleh
muthawaif. Alhamdulillah akhirnya saya bisa menyelesaikan misi malam ini. Pukul
23.30 kami kembali ke hotel.
Setelah keluar dari Raudhah pun masih sesak |
Sepanjang perjalanan ke hotel kami bertukar cerita. Menurut
muthawwif, kekacauan tadi jarang sekali terjadi. Hal ini disebabkan karena
jamaah Iran menyerobot antrian kami. Tante saya bercerita dia berhasil shalat
meskipun harus berpindah tempat. Sementara ibu saya, sayang sekali, tidak dapat
kesempatan shalat di Raudhah. Jika sudah demikian, tidak perlu menyesal. Insya
Allah sudah dicatat sebagai amal kebaikan karena Allah Maha Tahu apa yang ada
di hati kita.
Jika cerita tadi boleh saya sebut keajaiban, maka ijinkan saya untuk
berpendapat. Untuk urusan ini pasrahkan semua kepada Allah. Jamaah umroh adalah
tamu Allah. Jadi, percayakan pada Tuan Rumah yang akan mengatur dan memudahkan
segala urusan kita di sana. Tak hanya ketika umroh, juga termasuk urusan kita
di dunia. Setuju bukan?
Hallo salam kenal Kak,
ReplyDeleteMemamng untuk masuk Raudhah itu pasti ada kisah yang menarik yaa, kalo pengalaman saya juga seru dan penuh haru
https://ceritanggita.blogspot.co.id/2017/08/pengalaman-ke-raudhah-berpencar-dan.html
makasih sebelumnya :)