Monday, January 27, 2014

Melangkah ke Raudhah: Subhanallah!



Hari pertama di Madinah masih terasa istimewa. Shalat subuh pagi tadi yang sangat luar biasa. Perasaan takjub masih menghiasi pikiran kami. Ada satu lagi yang istimewa untuk saya ceritakan di hari pertama di Madinah ini: tentang Raudhah.

Raudhah adalah tempat/ruangan antara mimbar Rasulullah dengan rumahnya. Nama Raudhah sendiri dalam bahasa Arab berarti taman. Dahulu, masjid yang didirikan oleh Rasulullah berada di luar rumahnya. Tetapi, dengan adanya perluasan Masjid Nabawi,  rumah Rasulullah menjadi terletak di dalam Masjid Nabawi. Lokasi yang dahulu merupakan rumah Rasulullah ini sekarang menjadi makam Rasulullah.



Lalu, apa istimewanya Raudhah? Ada sebuah hadits yang menyebutkan:

“Antara rumahku dengan mimbarku adalah Raudhah di antara taman-taman surga” (HR. Bukhari no. 1196)

Tempat yang disebut Raudhah tidak begitu luas. Luas Raudhah dari arah Timur ke Barat sepanjang 22 m dan dari Utara ke Selatan sepanjang 15 m . Luasnya yang hanya 144 meter persegi tak sebanding dengan jutaan jamaah yang berebut ingin masuk ke sana. Yang bisa mengetahui persis letak Raudhah adalah jamaah laki-laki karena arah Raudhah adalah arah kiblat (otomatis jamaah laki-laki berada di barisan depan). Jika tempat sholat di Masjid Nabawi beralaskan karpet merah, maka Raudhah katanya ditandai dengan karpet hijau dengan motif abu-abu. Jamaah haji atau umroh yang berada di Madinah, biasanya akan menyempatkan berdoa di Raudhah. Tempat ini tak pernah sepi, menjadi tempat yang paling afdhal untuk memanjatkan doa.

Motif karpet yang menentukan batas area Raudhah


Nah sekarang sudah tahu kan apa keistimewaan dari Raudhah. Siapa di antara teman-teman yang ingin berdoa di Raudhah? Saya yakin, semuanya pasti ingin memanjatkan doa di sana. Nah, ini baru teman-teman saya. Sementara masih ada saudara muslim seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, juga ingin memanjatkan doa di sana. Hihi…

Kunjungan ke Raudhah diatur untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Ada dua waktu, yaitu setelah isya atau setelah subuh. Kedua waktu ini dipilih karena jarak sholat wajib berikutnya cukup panjang sehingga tidak mengganggu pelaksanaan sholat wajib berjamaah. Jadwal jamaah perempuan pada hari itu setelah isya. Sedangkan jadwal untuk jamaah laki-laki setelah subuh.

Setelah shalat isya dan makan malam di hotel, sekitar pukul 9 malam kami berkumpul di pelataran Masjid Nabawi dibimbing oleh muthawwif perempuan (karena akan mengunjungi Raudhah). Saat kami masuk ke masjid, ada yang berbeda rupanya. Di bagian terdepan yang bisa digunakan jamaah perempuan untuk sholat, ada sekat kayu yang dibuka. Di kanan kiri sekat yang dibuka, rupanya dipasang semacam bilik dari terpal yang seolah-olah membentuk labirin. Rasa penasaran saya akan gulungan terpal di beberapa tiang masjid terjawab sudah. Ternyata terpal itu digunakan untuk membentuk jalan menuju Raudhah.

Antrian jamaah yang ingin ziarah ke Raudhah diatur menurut ras. Kedengarannya aneh ya? Atau ini seperti mengarah ke SARA? Hihi… bukan. Setidaknya saya menduga ada dua tujuan mengapa antriannya dipisahkan menurut ras. Pertama, agar askar yang menjaga mudah untuk mengatur jamaah karena dalam satu ras biasanya menggunakan bahasa yang sama. Kedua, hal ini untuk kebaikan jamaah juga, terutama jamaah Melayu (termasuk Indonesia) yang berbadan kecil. Gak kebayang kan kalo orang Indonesia yang berbadan kecil harus antri berdesakan bersama orang Iran yang tinggi besar.

Muthawwif membimbing kami menelusuri labirin. Untuk masuk ke Raudhah, setidaknya kami perlu antri di tiga titik. Pada antrian pertama dan kedua kami mengantri dengan duduk. Jika tidak ada muthawwif yang membimbing, atau jika ingin ziarah lagi di luar jadwal yang ditetapkan biro travel, kita bisa mengikuti rombongan lain yang sedang dibimbing oleh muthawwif. Atau cara lain, tinggal ikuti askar saja. Biasanya setelah isya para askar memegang tulisan besar untuk masing-masing ras: Melayu (termasuk Indonesia), Turki, Pakistan, dan sebagainya.

Di sela-sela antrian, kami juga dituntun memanjatkan shalawat dan salam kepada Rasulullah karena sebentar lagi akan menuju makam Rasulullah. Muthawwif juga memberi penjelasan tentang tata cara berdoa di Raudhah. Jika sempat dan memungkinkan, shalatlah dua rakaat di Raudhah kemudian panjatkan doa. Tetapi menurut beberapa informasi dan pengalaman yang saya temukan di blog, berdoalah ketika sedang sujud terakhir. Kenapa? Karena jamaah yang mengantri untuk berdoa di Raudhah sangat sangat banyak. Sehingga jika kita telah selesai shalat dan terlalu lama berdoa, askar alias penjaga masjid akan meminta kita untuk segera beranjak.

Muthawwif juga menujukkan letak makam Rasulullah ketika antrian kami semakin dekat. Apa yang saya rasakan? Ketika baru melihat warna hijau bertuliskan huruf arab berwarna emas, saya merinding. Itu adalah bagian atas dari dinding ruangan tempat di mana Rasulullah dimakamkan. Rasulullah, yang saya kenal namanya dari orang tua dan guru-guru saya, sosok yang berjarak 15 abad yang lalu, sekarang jasadnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat saya duduk bersila.



Saat mengantri, ada sedikit keributan. Sekelompok jamaah memakai baju gelap, bertubuh tinggi besar, datang dari arah belakang meminta antrian kami (rombongan Melayu) untuk memberi jalan karena akan lewat. Muthawwif dari rombongan lain di sisi kiri saya meminta rombongannya untuk tidak memberi jalan dan berbicara kepada kelompok itu dalam bahasa yang tidak saya kenal (karena saya cuma kenal bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris, hehe). Muthawwif saya juga ikut-ikutan berteriak ketika rombongan itu mencoba menerobos dari arah rombongan saya. Rupanya mereka ingin menyerobot antrian. Muthawwif saya berhasil mencegahnya. Sempat juga saya heran, mengapa beribadah harus demikian kacaunya? Tidak bisakah teratur kali ini saja, karena ini untuk urusan kebaikan. Banyak juga cerita jamaah yang bilang bahwa kami orang Melayu (kali ini saya masuk dalam kelompok ini, hehe) memang relatif mudah diatur dibanding ras yang lain.

Himbauan agar tertib mengantri
Tibalah saatnya kami menuju antrian terakhir sebelum masuk ke Raudhah. Kali ini antriannya berdiri. Kami memasuki ruangan yang dibatasi sekat dari terpal. Perasaan saya menjadi tidak enak ketika tiba-tiba kami berdesakan. Rupanya ada serombongan orang yang bukan ras Melayu yang masuk ke antrian kami. Masya Alloh, antriannya menjadi sangat sesak. Kami berdiri berdesakan, mirip seperti antrian BLT atau antrian daging kurban yang sering saya lihat di televisi. Saya, ibu, dan tante saya masih berusaha berpegangan bersama dengan rombongan. Tetapi, akhirnya saya tidak kuat menahan dorongan. Arah dorongan jamaah tidak teratur sehingga kadang saya merasa terhimpit atau terseret hingga akhirnya melepaskan pegangan tangan dengan rombongan.

Jika tidak salah hitung, ada sekitar sepuluh menit saya berada di situasi seperti itu: didesak dan didorong oleh jamaah. Saya sudah terpisah dari ibu dan tante saya, sudah tidak terpikir sama sekali di mana mereka semua. Yang saya lihat di sekitar adalah jamaah yang tinggi besar tadi. Saat itu saya merasa hanya Allah yang bisa menolong saya. Maka yang terucap dari mulut saya waktu itu hanyalah: laa haula wala quwwata illa billah berulang kali dan terus saya lafazkan. Sambil berdoa dalam hati, “Ya Allah.. mudahkanlah.. Saya hanya ingin berdoa di Raudhah”.

Sepuluh menit berlalu. Tubuh saya perlahan maju dari tempat semula. Sayup-sayup terdengar jamaah di belakang saya mengucapkan “Subhanallah..subhanallah”. Saya menengok ke belakang. Jamaah itu menundukkan kepala seolah mengarahkan saya untuk melihat ke bawah. Dan… apa yang saya lihat di bawah ternyata karpet hijau bermotif abu-abu. Subhanallah.. saya sudah masuk di Raudhah. Di sela-sela rasa kaget dan takjub itu, saya sempat bingung, setelah ini apa yang harus dilakukan? Ya Allah saya kehilangan konsentrasi sesaat saking tidak percaya. Saya tersadar kembali. Saya ingin shalat dua rakaat. Dan lagi-lagi, ada jamaah di depan saya seperti memberi isyarat bahwa tempat di depan saya agak longgar. Bismillah, saya mulai shalat dua rakaat dan berhasil menyelesaikannya dengan sempurna. Saya sempat melihat jamaah itu seolah-olah seperti menjaga tempat di depan saya untuk sujud. Bahkan saya sempat berdoa sampai saya merasa, kok saya belum diusir oleh askar seperti cerita orang-orang. Ah sudahlah..saya harus bergegas mencari ibu dan tante. Saya beranjak berdiri sembari menyeka air mata setelah kejadian yang mengaduk-aduk emosi tadi.

Batas antara karpet merah dan hijau: Raudhah!
Saya mengikuti petunjuk askar yang mengarahkan jamaah untuk keluar. Askar itu berteriak: keluar keluar..sambil mengarahkan ke sisi kanan dari posisi shalat. Karena arah dorongan jamaah yang tidak beraturan, perlu usaha yang ekstra untuk keluar. Saya mengikuti rombongan Indonesia yang ingin keluar juga. Saya menunggu ibu, tante, dan rombongan lain di tempat yang ditentukan oleh muthawaif. Alhamdulillah akhirnya saya bisa menyelesaikan misi malam ini. Pukul 23.30 kami kembali ke hotel.

Setelah keluar dari Raudhah pun masih sesak
Sepanjang perjalanan ke hotel kami bertukar cerita. Menurut muthawwif, kekacauan tadi jarang sekali terjadi. Hal ini disebabkan karena jamaah Iran menyerobot antrian kami. Tante saya bercerita dia berhasil shalat meskipun harus berpindah tempat. Sementara ibu saya, sayang sekali, tidak dapat kesempatan shalat di Raudhah. Jika sudah demikian, tidak perlu menyesal. Insya Allah sudah dicatat sebagai amal kebaikan karena Allah Maha Tahu apa yang ada di hati kita.

Jika cerita tadi boleh saya sebut keajaiban, maka ijinkan saya untuk berpendapat. Untuk urusan ini pasrahkan semua kepada Allah. Jamaah umroh adalah tamu Allah. Jadi, percayakan pada Tuan Rumah yang akan mengatur dan memudahkan segala urusan kita di sana. Tak hanya ketika umroh, juga termasuk urusan kita di dunia. Setuju bukan?

1 comment:

  1. Hallo salam kenal Kak,

    Memamng untuk masuk Raudhah itu pasti ada kisah yang menarik yaa, kalo pengalaman saya juga seru dan penuh haru

    https://ceritanggita.blogspot.co.id/2017/08/pengalaman-ke-raudhah-berpencar-dan.html

    makasih sebelumnya :)

    ReplyDelete