Thursday, November 15, 2012

Kereta Punya Cerita

Kereta api selalu menjadi pilihan saya dan beberapa teman untuk pulang kampung. Tetapi tidak semua orang suka naik kereta. Pertimbangannya karena lokasi rumah yang cukup jauh dari stasiun. Belakangan ini kereta jenis ekonomi AC menjadi alternatif bagi saya untuk pulang mudik. Ada sebagian yang tidak suka. Alasannya karena privasi yang kurang. Maklum saja, meskipun dilengkapi dengan AC, karena namanya kelas ekonomi tetap saja penumpang duduk berhadapan.

Bukan berarti saya setuju dengan diskriminasi, tetapi memang terasa sekali ada perbedaan dalam kelas-kelas kereta tersebut. Salah satu perbedaan ini bisa dilihat pada saat kereta akan berangkat dari stasiun. Penumpang kelas eksekutif dan bisnis umumnya lebih tenang saat memasuki kereta. Keadaan ini berbeda dengan penumpang kelas ekonomi yang terlihat panik dan terburu-buru memasuki gerbong kereta. Padahal sekarang ini semua penumpang dengan tiket yang sah dijamin mendapatkan tempat duduk. Saya benar-benar merasakannya ketika menaiki kereta kelas ekonomi. Maklum saja, saya sudah pernah mencicipi tiga kelas kereta tersebut.

Pun ketika kita sudah duduk di dalam kereta. Menurut saya, penumpang kelas eksekutif bisa dibilang paling individualis. Duduk, memasang bantal, memakai selimut, memasang headphone lalu tidur, atau asik dengan gadgetnya sendiri-sendiri, tanpa mengobrol banyak. Penumpang kelas bisnis dan ekonomi tentu saja mau diajak mengobrol lebih banyak dari pada penumpang kelas eksekutif. Dan tentu saja untuk kelas ekonomi, karena tempat duduknya berhadap-hadapan, obrolan dengan sesama penumpang seringkali terasa hangat dan akrab.

Pulang kampung selalu menjadi agenda rutin tiap kali ada angka tercetak dengan tinta merah mendekati weekend. Tak terkecuali semalam. Saya pulang kampung karena hari ini, Kamis 15 November, bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1434 H. Saya dan seorang teman memilih kereta kelas ekonomi AC.

Penumpang di depan kami adalah dua orang laki-laki paruh baya. Keduanya berusia 40 dan 50 tahunan. Berawal dari obrolan ringan hanya seputar tempat tujuan, tempat bekerja..maka mengalirlah obrolan panjang.

Mereka (kedua laki-laku itu) sudah sering pulang menggunakan kereta api. Yang satu, sudah hampir dua tahun pulang ke Jogja tiap minggu karena keluarganya di sana. Sedangkan yang satu, sudah 8 tahun pulang ke Jogja sebulan sekali. “Sejak tiket kereta masih 2.500 sampai sekaran jadi 150.000 mbak..”
Satu hal yang paling berkesan dari obrolan tadi malam adalah tentang calo tiket kereta yang tetap masih ada meskipun sistem penjualan online telah diberlakukan. Menurut salah seorang bapak itu, ada beberapa cara calo tiket kereta beroperasi.



Pertama, calo tiket memiliki koneksi kuat dengan “orang dalam” alias karyawan PT KAI. Calo sudah mempunyai jatah tiketnya sendiri. Calon penumpang cukup memberikan nomor identitas yang diperlukan untuk pemesanan. Tiket sesuai nama penumpang siap digunakan.

Kedua, calo tiket memiliki koneksi dengan petugas loket. Calo sudah membeli tiket seperti biasa. Jika ada calon pembeli yang berminat, maka dilakukan perubahan nama penumpang. Hal ini sulit dilakukan oleh orang awam karena petugas selalu berkata bahwa jika tiket sudah dibatalkan, maka tidak ada jaminan bisa didapatkan kembali karena ada banyak orang yang bisa mengakses tiket dengan sistem online. “Tapi kenyataannya masih bisa mbak..” kata bapak itu.

Ketiga, bagi calo yang tidak memiliki koneksi, masih bisa beroperasi, asalkan memiliki modal yang cukup besar. Sistem online memang memudahkan siapa saja untuk memesan tanpa batasan lokasi. Namun, sistem ini juga memberikan keuntungan bagi calo. Calo memesan tiket dalam jumlah banyak sesuai prosedur (tentu saja menggunakan identitas yang benar, jumahnya tergantung besarnya modal si calo). Seketika saya teringat, pernah memesan dua tiket kereta dengan jadwal yang sama menggunakan dua nama yang sama dan sistem bisa menerima. Ternyata memang sistem ini masih ada kelemahan. (Atau memang sengaja dibuat?) Biasanya, calo menyediakan dua jenis tiket, yaitu tiket dengan nama laki-laki dan tiket dengan nama perempuan. Jika calon penumpang laki-laki, maka tiket yang dijual adalah tiket laki-laki. Begitu pula sebaliknya. Saat mendekati jadwal keberangkatan, calo akan melakukan check-in agar tiketnya mendapat stempel “TELAH DIPERIKSA” dari petugas. Bahkan, ada juga yang membuat stempel sendiri  -_-" Setelah itu, tiket bisa diberikan pada calon penumpang dan penumpang dapat masuk dengan leluasa.

Sistem pemesanan tiket online memang mempermudah penumpang mengakses pemesanan tanpa harus menelepon operator dan tanpa mengantri di stasiun. Namun tanpa sistem yang well-developed, tentu saja akan membuka peluang kecurangan.

Tidak dipungkiri, calo tiket kereta api memang masih ada. Namun, hanya yang bermodal besar dan memiliki koneksi kuatlah yang masih mampu bertahan. Harga tiketnya sendiri? Jangan tanya, bisa sampai 4 kali lipat.

Wednesday, November 14, 2012

Cukup

Sebagai anak kampung yang datang ke kota metropolitan macam Jakarta, tentu saya pernah mengalami fase "ndeso". Dari yang gak bisa makan pakai sumpit, ketemu eskalator yang hemat energi (kelihatannya rusak, tapi otomatis akan berjalan ketika kita naik), sampai merasa asing dengan menu-menu makanan yang awalnya aneh bagi saya macam pizza, spaghetti, salad, sushi, dan steak. Kasus yang sama juga terjadi, untuk beberapa merk produk perawatan tubuh, tas, dan sepatu yang baru saya dengar.

Saya, sudah dikontrak jadi PNS sampai masa pensiun di tahun 2042. Dan sampai tahun itu (insya Allah) saya akan terus hidup di kota ini karena stabilnya struktur SDM di kantor tidak memungkinkan mutasi. Jakarta, tentu sedikit banyak mengubah diri saya. Dari yang semula hanya mengenal makanan rumah, warteg jaman kuliah, paling banter makan KFC, itu pun bisa dihitung dengan jari. Sekarang saya (dan tidak hanya saya tentunya) sudah bisa beradaptasi dengan gemerlapnya kehidupan Jakarta. Bayangkan saja, jika ada jamuan makan di restoran yang makanannya seperti yang saya sebut di atas, tentu kita tidak seharusnya menolak, bukan?

Lama-lama saya ketularan. Gaya hidup yang meningkat. Tersadar seketika saat ibu saya berkata dengan santainya, "Dulu masih mau pakai baju harga lima puluh ribu, sekarang ga mau ya.."

Kalimat ibu saya ini selalu menjadi pengingat manakala ada teman, tetangga, atau orang di sekitar saya sibuk membicarakan gadget ini, atau tas merk itu, atau sepatu yang ini, yang terbuat dari kulit, yang mahal, yang bagus, dan sejuta alasan yang menggoda kita untuk membeli.

Cukup itu dari diri sendiri. Kata ibu saya.

Dan ini hadiah-Nya:

“Barang siapa meninggalkan pakaian yang mewah-mewah karena tawadhu kepada Allah, padahal ia mampu membelinya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di muka sekalian manusia untuk disuruh memilih sendiri pakaian iman yang mana yang ia sukai untuk dipakainya.” (HR Tirmidzi)

Saturday, September 22, 2012

ART oh ART



Setelah mengalami dua kali ganti pembantu kos dan beberapa kejadianmengejutkan sebelumnya, saya menjadi lebih waspada terhadap pembantu. Bagaimanapun dia tetap orang lain yang tidak bisa kita beri kepercayaan 100%.

Pembantu ketiga, mbak Yati, memang rajin. Pekerjaannya rapi dan dia pintar membagi waktu. Dia juga senang memasak. Tak jarang saya memintanya membelikan sayuran di tukang sayur keliling karena harus berangkat ke kantor pagi hari.

Saya dan dua orang teman, bertiga, memasak bersama. Kami patungan uang belanja. Jumlahnya tidak tentu, biasanya dua puluh ribu rupiah sekali patungan. Jangka waktunya pun tidak tentu. Jika habis, kami patungan lagi. Pengelolaan uang kami percayakan pada mbak Yati karena tiap pagi kami minta dibelikan sayuran untuk dimasak pada sore harinya. Oh ya, semenjak kejadian penggeledahan dan insiden alat listrik, kami sepakat untuk numpang memasak nasi pada mbak Yati. Kami menyerahkan beras, mbak Yati yang memasak.

Mbak Yati rutin mencatat pengeluaran belanja tiap hari. Jika sudah habis, dia  cukup bilang kepada salah satu dari kami bertiga, uang kami beri lagi. Begitu saja selama beberapa minggu. Sampai suatu hari...

Desi, salah satu dari kami, kaget karena ternyata uang belanja patungannya sudah termasuk pembelian beras. Selama ini dia memberi mbak Yati uang sebesar dua ribu rupiah setiap kali mengambil nasi dari mbak Yati (anggap saja membeli). Padahal sudah sangat jelas, ketika menyerahkan beras saya berkata, ini beras untuk kami bertiga: saya, mbak Emi, dan Desi. Ditambah lagi cerita teman-teman lain yang sangat mengetahui persis harga sayuran. Juga tentang hitungan beras yang tidak masuk akal, terlalu cepat habis untuk porsi makan kami yang seukuran diet (bukan diet juga sih maksudnya). Intinya, mbak Yati tidak jujur dalam mengelola keuangan belanja kami (mark up harga dan pemborosan beras).

Kami berunding. Mengambil sikap, memutuskan bahwa kami akan memasak nasi sendiri (berlima). Kami juga akan membeli sayuran sendiri. Kebetulan, Desi masuk lebih siang dan lokasi kantornya sangat dekat dengan kos. Sejak saat itu kami tidak bisa percaya 100% pada mbak Yati. Kunci kamar selalu terkunci, meski hanya menjemur cucian, ke kamar mandi atau ke dapur.

Muncul ide untuk sekedar menguji. Saya menaruh uang kecil di saku baju. Dua kali saya menaruhnya, tidak ada yang kembali setelah dia cuci. Bukan apa-apa, ide ini saya dapat dari teman-teman yang sudah berumah tangga sebagai salah satu cara untuk mengetes ART.

Memiliki asisten rumah tangga sepertinya sebuah keharusan bagi ibu rumah tangga yang bekerja, apalagi di kota besar. Tapi kenyataannya kondisi sekarang tidak semudah dulu. Katanya, dulu lebih mudah , mencari ART yang jujur dan bisa bekerja dengan baik. Sekarang ini, urusan kantor bisa jadi nomor sekian jika sudah dilanda krisis ART. Alternatif yang mungkin adalah memiliki ART tapi tetap ada pihak keluarga yang mengawasi, misal orang tua kita. Ada juga pemikiran (dari teman-teman yang sudah hopeless) untuk resign dan fokus menjadi ibu rumah tangga: mengurus anak, suami, dan rumah.

Alasan yang sepertinya cukup kuat untuk mempertahankan pekerjaan adalah karena umur manusia (suami) tidak bisa diduga. Perempuan harus siap ditinggal kapan pun, pesan ibu saya.

Tuesday, September 11, 2012

Kejutan 11 September

Sore ini saya pulang telat. Ada tugas mendadak. Pergi ke Mal Grand Indonesia, membeli souvenir untuk tamu dari Jepang yang akan rapat bersama tim kami besok pagi.

Sesampainya di kos, saya disambut berita bahagia. Kami dapat kulkas baru. Khususnya untuk anak-anak lantai dua. Belum lama euforia itu dinikmati. Saya cek hp. Ada dua pesan. Dari tante Veronica, pemilik kos. Selagi saya buka sms tante, mbak Yati menceritakan kabar tidak enak.

Siang tadi tante menggeledah kamar anak-anak. Siapa lagi penyebabnya kalo bukan provokasi mba Yeti (pembantu sebelumnya, yang sudah berhenti sebelum lebaran kemarin).Tante pemilik kos membuka kamar anak-anak menggunakan kunci duplikat.

Ternyata sms tante berisi penjelasan bahwa tadi siang tante masuk kamar anak-anak, disertai penjelasan karena tadi listrik mati. Intinya tentang ketertiban pembayaran. Saya memberitahu tante bahwa saya memang punya magicom, dan sewaktu puasa dipakai bersama dengan mba Yeti karena magicom milik dia (yang dia dapat dari pemberian anak kos) dibawa suaminya ke Bogor karena tempat kerjanya jauh dari warung makan. Setelah libur lebaran, hampir tidak saya pakai karena mbak Yati sering memberi kami nasi untuk makan malam.

Beberapa anak, terutama anak lama, termasuk saya, kecewa. Jelas. Karena kamar kami dibuka tanpa ijin. Kekecewaan saya bertambah. Baru kemarin nama saya dibawa-bawa mba Yeti, sore ini ada lagi kejadian yang hampir tidak pernah terjadi selama 6 tahun terakhir: penggeledahan kamar. Bu Mar, tetangga kos kami, bilang dia juga kecewa karena namanya dibawa-bawa, sebagai salah satu orang yang mengajari mbak Yeti mengkorupsi uang kos.

Bu Mar sempat bertanya pada saya, pernah nyoba sms Yeti gak Riz? Sampai hari ini saya masih belum mau mencobanya. Malas. Kesal. Kecewa. Campur jadi satu.

Saya belajar satu hal, untuk tidak terlalu percaya pada orang, meskipun sama dengan saya (sama-sama orang kampung yang merantau di Jakarta). Memperlakukan orang terlalu baik sekaligus memberi toleransi terlalu besar akan kewajibannya sama saja memanjakannya. Dan ini bisa membuatnya besar kepala.

Thursday, September 6, 2012

Himpitan Ekonomi



Pasca lebaran ini saya kedatangan asisten (pembantu) baru di kos. Mbak Yeti, asisten sebelumnya gak balik lagi karena repot mengurus bayikembar yang dilahirkan di kos bulan Mei kemarin. Asisten kami yang baru namanya mbak Yati. Nama boleh mirip, tapi kerjanya..beda jauh. Maklum, mbak Yati sebelumnya bekerja di kos dengan 35 kamar bersama dua rekannya.

Semalam tante pemilik kos datang, tante Vero namanya. Tanggal muda seperti ini apalagi kalo bukan urusan pembayaran (karena batas akhir pembayaran adalah tanggal 5 setiap bulannya). Tante Vero memeriksa anak yang belum membayar, mencarinya, dan menagihnya. Hihi..untuk urusan begini saya lebih baik tertib daripada kena masalah.

Saat saya sedang ngobrol dengan beberapa teman, tiba-tiba tante panggil saya, ngobrol berdua. Kami semua bertanya-tanya, tante mau ngomongin apa sih?

“Riz, kamu tau kan yang kemarin aku cerita Yeti korupsi uang kos..” Hari sebelumnya tante sms saya tentang hal ini.

“Iya tante..itu gimana sih kok bisa?”

“Jadi anak udah bayar tapi dia bilang belum kasih uang..kemarin sebelum dia mudik itu.. Padahal aku tanya anaknya, dia bilang udah kasih uang ke Yeti. Trus kemarin aku desak, akhirnya dia ngaku kalo dia emang ambil itu uang kos punya anak..”

“Ya ampun...kok bisa ya tan..”

“Katanya gini, kok gaji saya gak sama kaya si Lastri (pembantu sebelum Yeti yang juga adik iparnya sendiri). Aku bilang, lho kamu kan pertama kerja ya ga dapat segitu, Lastri itu udah 6 tahun ikut aku dan kerjaannya beres, gak kaya kamu. Di mana-mana orang kerja itu ya liat dulu kerjanya, baru gajinya naik dikit dikit.”

“Oh iya sih..”

Lha trus dia bilang, katanya Lastri gajinya sampe  3 juta. Hah? Aku bilang, 3 juta dari mana? Kamu jangan percaya tetangga-tetangga depan yang suka gosip itu. Katanya, anak-anak ada yang suka kasih. Lah, sekarang aku gak masalah kalo anak kos ngasih pembantu, itu hak kalian kalo mo kasih tip tiap bulan misal sering minta tolong. Trus saya bilang, Lastri itu kerjanya bagus, kalo kamu kerjanya bagus kan anak-anak juga ga sayang mo kasih kamu tip. Gitu.. Trus dia juga bilang Lastri munafik lah..apa lah.. Padahal kan yang kasih dia kerjaan si Lasti. Dia itu banyak utang di kampung. Makanya Lastri kasian, dikasih kerjaan biar dia bisa bayar utangnya. Tapi udah ditolongin malah bilang begitu..”

“Iya sih tan..aku juga kasih order cucian sama mba Lastri..kalo ke mba Yeti aku kasih harga sama juga padahal kalo mo dibilang ya kerjanya beda sama mba Lastri.”

“Nah..aku sih gak ngelarang gitu-gituan..trus dia bilang gini, ibu ga tau itu anak-anak juga pada bawa macem-macem, tapi pada diumpetin aja, pada bawa magicom, dispenser (terkena terif 50 ribu per item). Kalo ga percaya itu tanya aja mba Rizka, malah dia yang ngajarin, asal tante gatau aja kan gapapa. Ehh aku bilang, lho kamu kenapa ga bilang ke saya, apa uangnya kamu ambil juga ya, ya udah ntar aku tanya ama Rizka bener apa ga. Wah Riz, aku udah kecewa banget deh ama dia..aku baik-baikin, waktu neneknya dateng aku kasih sangu, anaknya lahir aku beliin baju..kok dia bisa-bisanya ambil itu uang kos. Ya udah lah aku ikhlasin aja..”

“Ohh...iya tan..”

“Makanya sekarang tiap kali pada bayar kos, aku kasih kuitansi buat bukti ya.”

“Oh pantesan kok tumben pake kuitansi segala..”

“Iya takut uang ga sampe ke aku.”

FYI, dari sejak jaman mba Lastri, memang tarif bayar alat listrik gak berjalan. Sudah begitu dari dulunya. Anak-anak lebih suka memberi tip buat mba Lastri daripada uang itu dipakai untuk membayar alat listrik tambahan. Di samping itu, anak-anak juga merasa tarifnya terlalu mahal. Kami beralibi, toh magicom itu cuma dipakai ketika memasak saja, tidak terus menerus dinyalakan.

Bukan hanya tante yang kecewa, saya juga. Sejak kecil saya selalu diajari untuk bersikap baik pada pembantu rumah tangga (gak perlu lah ya disebutin di sini, hehe). Tapi ternyata sifat manusia bisa berubah di luar dugaan kita. Sepupu saya juga mengalami hal serupa dengan ART-nya. Si ART bilang pada orang tuanya bahwa selama ikut majikannya, makannya kurang. Padahal kenyataannya tidak demikian. Sepupu saya itu termasuk baik dan royal dalam hal makanan, tidak pernah membedakan makanan untuk dia sendiri dan ART. Atau memang ART sekarang semakin bertingkah karena tingginya permintaan ya? Hehe..

Cerita tante membawa saya pada satu kesimpulan. Bahwa himpitan ekonomi bisa mengubah orang untuk melakukan apa saja. Pertanyaan saya tentang kelahiran bayi kembar mba Yeti juga sudah terjawab. Kenapa mba Yeti tidak pernah memeriksakan kandungannya? Kenapa tidak ada selembar baju pun saat kelahiran si kembar? Jawabannya adalah karena himpitan ekonomi.

Wednesday, August 15, 2012

Home-made Food

Ada yang istimewa selama bulan puasa kali ini. Selama hampir satu bulan saya tidak pernah membeli  makan untuk buka puasa maupun sahur di warteg. Yup, anak kos memang selama ini identik dengan warteg. Semenjak saya kuliah pun sudah sering membeli makan di warteg. Namun entah karena memang berbeda, atau karena perasaan saya saja, saya merasa masakan warteg di Jakarta tidak seenak masakan warteg di Purwokerto, tempat saya kuliah dulu.

Dulu sebelummbak Yeti (pembantu kos saya) melahirkan, saya memang minta dimasakkan sayur untuk makan malam dengan membayar 100 ribu rupiah per bulan. Tapi setelah mba Yeti melahirkan dan memiliki sepasang anak kembar, saya berhenti berlangganan masakannya. Bulan puasa ini saya kembali ingin merasakan home-made food. Melihat kondisi sekarang ini, tentu mbak Yeti tidak bisa memasak untuk saya.

Selama bulan puasa, saya dan mbak Emi (teman baru di kos) memasak makanan sendiri, mulai dari nasi, sayur, lauk, bahkan dessert. Mbak Yeti lah yang banyak mengajari kami memasak. Dari dia, saya dapat belajar banyak hal tentang dunia masak memasak. Maklum, perempuan seumuran saya tentu sudah seharusnya memperdalam ilmu masak memasak, hehe.. Namun dengan status saya sebagai anak kos, tentu tidak mudah menemukan kondisi yang mendukung untuk belajar memasak.

Kos kami memiliki sebuah dapur yang sederhana. Ada kompor gas, memang. Tetapi ruang yang disebut dapur itu tidak lebih dari 2x2 meter, belum lagi sebuah lemari kecil ditambah rak tempat piring dan peralatan masak. Meski sederhana, ternyata dari situ ‘lahir’ berbagai masakan yang (bagi saya) bisa dikatakan lebih baik dari masakan warteg.

Kami bisa berbelanja sayurandi tukang sayur yang mangkal di dekat kosan setiap pagi. Tentu saja kami hanya bisa membelinya pada hari Sabtu atau Minggu, saat libur kerja. Mbakk Yeti juga pernah mengajak kami berbelanja di pasar yang dia sebut pasar Mencos (namanya lucu, hehe). Dia, dengan semangatnya menjelaskan bahwa kita bisa mendapat  sayuran dan bahan mentah lainnya dengan harga yang lebih murah di pasar itu. Harga di tukang sayur bagi saya sudah murah dibandingkan dengan supermarket macam Carrefour atau Superindo. Ternyata memang benar..  setelah saya terjun langsung ke pasar, harganya bisa jauh lebih murah lagi. Bayangkan saja, kami bertiga (saya, mbak Emi, dan mbak Yeti) patungan 50 ribu rupiah per orang untuk berbelanja. Uang sebanyak itu sudah cukup untuk makan selama seminggu, dengan lauk ikan lele, ikan kembung, ikan pindang, belum lagi ditambah buah pepaya, dan es blewah.. Ternyata tidak sulit untuk hidup hemat di Jakarta. Asalkan, kita mau berbelanja di pasar tradisional.

Ada beberapa hal baru yang didapat dari hasil belajar memasak saya pada mbak Yeti yang berasal dari Jawa Timur. Ternyata, setiap daerah punya kebiasaan sendiri dalam memasak. Kuncinya, kita harus mau menerima saran atau masukan dari orang lain dan berani mencoba resep baru. Because you’ll never know till you have tried. And these are new recipes I’ve learned from her..

  1. Tambahkan sisiran jagung manis yang telah ditumbuk ke dalam kuah sayur bayam agar rasa manis dari jagung terasa dan kuah yang dihasilkan berwarna kekuningan. Campurkan ke dalam kuah yang dibumbui garam, bawang merah, bawang putih, dan kencur (bisa diganti dengan kunci). Masukkkan daun bayam, tambahkan sedikit daun kemangi agar terasa segar dan harum.
  2. Menambahkan kemiri pada tepung tempe goreng akan membuat tempe lebih gurih dan renyah. Biasanya saya hanya membuat bumbunya dengan bawang putih, ketumbar, dan garam. Jika ditambahkan sedikit cabai merah besar akan menghasilkan tepung yang agak kemerahan dan sedikit pedas.
  3. Merendam irisan tempe goreng dengan air garam sebelum digoreng dengan tepung akan membuat tempe terasa lebih asin.
  4. Cah kangkung akan matang dalam keadaan hijau segar jika kangkung dimasukkan setelah air mendidih. Caranya, tumis bumbu hingga harum, setelah itu tambahkan air sesuai yg diinginkan. Tambahkan garam dan penyedap lain. Jika rasanya sudah pas sesuai selera, baru masukkan kangkung. Hal ini akan membuat kangkung matang karena direbus dalam air, sehingga warnanya tetap hijau segar tidak pucat atau kecoklatan.
  5. Menambahkan sedikit kemiri pada sambal membuat sambal lebih gurih. Goreng cabai merah, cabai rawit, bawang merah, tomat, terasi dan kemiri. Tambahkan garam dan sedikit gula pasir (atau gula merah) lalu tumbuk hingga halus.
  6. Saya pernah juga bereksperimen membuat es durian. Tak sengaja saat belanja di Carrefour menemukan durian monthong dengan harga murah, sekitar 30 ribu rupiah per buah. Karena merasa kebanyakan, kami memutuskan untuk membuat es durian. Caranya, enam biji durian monthong dibuang bijinya. Tambahkan satu sachet susu kental manis putih (bisa juga diganti dengan krimer), aduk hingga tercampur dan durian menjadi lebih halus. Tambahkan air putih atau es batu sesuai rasa manis yang diinginkan. Jika ingin tekstur yang lebih keras seperti es krim, cukup masukkan ke dalam freezer hingga sedikit mengeras.

Dari kiri searah jarum jam: bakwan jagung, sayur bayam, sambal terasi, dendeng Aceh, es durian.

Perubahan yang sangat dirasakan ketika menjadi anak kos adalah masalah makanan. Lingkungan kos-kosan yang terbiasa dengan warteg dan rasa masakan yang standar-standar saja memang seringkali membuat saya ingin pulang. Sekarang rasa homesick tidak terlalu mudah menyerang setelah bisa memasak makanan sendiri.  Dan sepertinya sudah seharusnya kita berterimakasih pada ibu yang telah menyediakan makanan terbaik untuk kita sejak kecil.

Monday, July 30, 2012

PCPM Bank Indonesia



Setelah ada permintaan dari beberapa junior di kampus, tulisan ini dibuat atas permintaan mereka yang sedang mengikuti seleksi PCPM XXVI. Daripada saya harus menjawab sms satu per satu, check it out saja..

 
Kartu peserta tes: semua tahap sudah dilalui!!

Entah dari mana datangnya godaan yang membuat saya ingin mencoba satu hal ini: Seleksi PCPM XXV Bank Indonesia Tahun 2012. Yup! Meski saya sudah berstatus PNS, bukan berarti tidak boleh mencobanya kan? Memang banyak bukti orang-orang yang keluar dari tempat kerjanya yang boleh dibilang sudah mapan, demi mendapat tempat yang diidamkan oleh banyak orang itu.

Awalnya saya mengikuti seleksi ini karena iseng. Hehe. Adik saya memilih Jakarta untuk mengikuti seleksi ini dengan pertimbangan ada saya yang bisa membantu selama ikut seleksi di Jakarta. Terpikir oleh saya, kenapa saya tidak sekalian ikut mencobanya? Toh juga nanti saya akan mengantar dan menjemput adik saya untuk mengikuti seleksi. Hasrat lain lebih karena penasaran. Tahun 2009 saya pernah mencoba ikut seleksi ini, tetapi hanya pada tahap pertama saja. Di samping itu, PNS tidak boleh mengikuti seleksi CPNS. Jadi, ini adalah salah satu jalur pelarian saya. Hehe.

Formasi yang dibutuhkan waktu itu belum diumumkan. Hanya saja saya menemukan angin segar ketika saya melihat ada formasi untuk S1 jurusan Matematika. Tahapan tes terdiri dari 8 tahap termasuk tes online. Memang banyak. Tapi karena saya menjalaninya tanpa beban, satu persatu saya lalui tanpa terasa. Berikut ini tahapan seleksi yang saya ikuti setelah pendaftaran secara online:

Tahap
Jenis Tes
Jadwal Saya
Tempat
1
Tes kemampuan umum, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus
Awal Februari
Gedung Bina Manajemen PPM Menteng, Jakarta Pusat
2
Tes bahasa Inggris (pendahuluan) dan tes psikologi tertulis
Minggu, 26 Februari 2012
3
Diskusi kelompok dan wawancara individual
Selasa, 20 Maret 2012
4
Tes TOEFL
Sabtu, 7 April 2012
5
Tes Pskiatri
Sabtu, 21 April 2012
SD Yasporbi, Jakarta Selatan
6
Tes Kesehatan
Selasa, 8 Mei 2012
Bidakara Medical Center, Jakarta Selatan
7
Jumat, 20 Juli 2012
Gedung Tipikal Lt.12, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta

Dari tahap satu ke tahap berikutnya, biasanya peserta akan diberitahu lewat sms untuk mengecek pengumuman yang sudah tersedia di website. Ada peserta yang tidak mendapatkan sms. Jadi sebaiknya rajin-rajinlah mengecek website.

Selama mengikuti tes, saya mengikuti forum di Kaskus untuk mencari informasi utama seputar tes ini. Ini sangat berguna karena kita sulit menemukan teman di kota lain yang sudah mengikuti tes. Lin forum kaskus untuk PCM XXV ada di sini.

Jika kita sudah memiliki sertifikat ITP TOEFL dengan skor di atas 500, maka kita bisa melewati tahap 4. Langsung meluncur ke tahap 5. Jadi, jika masih ada waktu, cepat-cepat ikut ITP TOEFL. Itung-itung buat latihan.

Mengikuti tujuh kali tes itu tentu sangat melelahkan karena menyita waktu dan energi saya. Tapi memang itulah tahap yang harus dilalui untuk sampai ke pertempuran terakhir lewat wawancara. Yang tidak kalah penting, persiapkan diri sebelum mengikuti tes. Setelah siap, jangan merasa minder karena itu akan merusak mood kita waktu tes. Setelah selesai menjalani tes, pasrahkan semua pada Allah. Dia yang akan memilihkan yang terbaik untuk kita.