Awalnya saya mengira ibadah umroh memang lamanya selama
sembilan hari, tetapi saya baru tahu saat saya menjalaninya sendiri. Ibadah
umroh sebenarnya bisa dilakukan selama satu hari saja. Bahkan, penduduk
setempat atau penduduk sekitar Mekkah bisa menjalankan rangkaian ibadah umroh
pada longweekend saja.
Perjalanan umroh dimulai dengan berniat. Niat ini dilakukan
di miqat yang merupakan batas tempat di mana kita diwajibkan melakukan rukun
umroh dan tidak boleh melakukan larangannya. Jadi, penduduk yang tinggal di
dalam kawasan tanah Haram harus keluar dahulu melewati batas tanah Haram untuk
mengambil miqat. Pada umumnya penduduk Indonesia menjalankan ibadah umroh
diawali dengan mengunjungi Madinah sehingga miqat yang diambil adalah masjid
Bir Ali.
Meninggalkan Madinah menuju Masjid Bir Ali |
Perjalanan dari Madinah menuju masjid Bir Ali ditempuh dalam
waktu sekitar 25 menit menggunakan bus. Dalam perjalanan tersebut, jamaah
wanita sudah memakai pakaian umroh yang berwarna putih. Sedangkan jamaah
laki-laki belum memakai pakaian ihram (ganti pakaian di masjid Bir Ali).
Halaman Masjid Bir Ali |
Halaman Masjid Bir Ali |
Si Om yang narsis abis |
Di masjid ini kami melaksanakan shalat dua rakaat sebelum
umroh kemudian berniat untuk umroh (membaca lafadz niat umroh). Selama
menjalankan rangkaian ibadah umroh, jamaah wanita harus menutup aurat seperti
ketika shalat, termasuk kaki dan pergelangan tangan. Sebaiknya pilih pakaian
yang sempurna menutup pergelangan tangan. Selain itu, jamaah wanita dari
Indonesia biasanya menggunakan sarung tangan umroh. Saya pernah ditanya oleh
jamaah dari Malaysia perihal sarung tangan ini ketika bertemu di lift hotel di
Madinah. Dia menebak saya dari Indonesia, karena melihat sarung tangan yang
saya pakai, katanya ini khas Indonesia.
Si Om dan Ibu setelah berniat umroh di Masjid Bir Ali |
Umroh dimulai! |
Sejak berniat di masjid Bir Ali, maka sejak itu larangan
yang berlaku selama ibadah umroh mulai berlaku: memakai wangi-wangian, berbuat
fasik, berkata-kata yang tidak baik, merusak tanaman, dan sebagainya.
Pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Mekkah yang
ditempuh dalam waktu sekitar enam jam. Jalanan menuju Mekkah (dan jalan yang
menghubungkan antar kota di Arab) seperti jalan tol di Indonesia, lebar dan
panjang serta dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk arah. Bedanya, di Arab
tidak ada kemacetan antar kota kecuali jika musim haji, itu pun hanya antara
Mekkah dan Madinah.
Menjelang pukul enam sore kami beristirahat di kawasan seperti rest area di jalan tol untuk sekedar minum dan mengisi perut sejenak. Ada yang unik ketika kami berhenti di sini. Kami menemukan Indomie dalam gelas seperti Pop mie. Saya memesannya seharga 5 SAR ditambah teh seharga 3 SAR. Rasanya mirip Indomie yang dijual di Indonesia karena bumbunya saja bertuliskan bahasa Indonesia hihi
Menjelang pukul enam sore kami beristirahat di kawasan seperti rest area di jalan tol untuk sekedar minum dan mengisi perut sejenak. Ada yang unik ketika kami berhenti di sini. Kami menemukan Indomie dalam gelas seperti Pop mie. Saya memesannya seharga 5 SAR ditambah teh seharga 3 SAR. Rasanya mirip Indomie yang dijual di Indonesia karena bumbunya saja bertuliskan bahasa Indonesia hihi
Rehat sebentar |
Kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di kota Mekkah pukul
20.30. Kami sampai di tanah Haram(!). Perasaan merinding lebih kuat ketika saya
baru sampai di Madinah. Mungkin saya tidak teralu merasakan perbedaan karena
saya sudah merasakan suasana tanah Arab dari Madinah. Ditambah lagi rasa letih
sudah terkumpul sejak hari pertama kami di Madinah.
Setelah kami mendapat kamar di hotel, rangkaian ibadah umroh
pun dilanjutkan (bahkan mungkin baru dimulai hehe). Kami dibimbing menuju
Masjidil Haram. Jarak hotel dengan Masjidil Haram hanya sekitar 300 meter
berjalan kaki. Kami akan melaksanakan shalat Magrib dan Isya dengan jamak
takhir.
Sesaat sebelum masuk ke Masjidil Haram, muthawaif
mengumpulkan kami untuk memberikan penjelasan. Seperti biasa, kami disarankan
untuk mengingat pintu masuk masjid dan memberi petunjuk arah untuk pulang ke
hotel. Pintu terdekat dari hotel kami adalah pintu nomor 1 yang dinamakan King
Abdul Aziz Gate. Pintu ini berhadapan dengan Zam-zam Tower, hotel terkenal
dengan jam besar di atasnya yang menyala dan mengeluarkan suara adzan setiap
waktu shalat.
Kami pun masuk ke Masjidil Haram sambil menyapu pemandangan
di depan mata mencari di mana letak Ka’bah. Saya sedikit nervous, benarkah
seperti kata orang-orang jika melihat Ka’bah akan menangis?
Sepertinya saya tidak demikian. Mencari letak Ka’bah dalam
pandangan mata perlu sedikit jeli karena saat ini sedang dibangun lintasan di
sekeliling Ka’bah (dua lantai di atas lantai dasar) untuk perluasan area
thawaf. Jadi jangan dibayangkan kita akan mendapatkan pemandangan Ka’bah yang
terlihat jelas di antara lautan manusia seperti dalam lukisan atau sajadah
jaman kakek-nenek kita.
Kami mencari tempat shalat yang agak luas untuk berjamaah
satu rombongan di basement. Masjidil Haram memiliki tempat shalat yang
sangaaaaaat luas tetapi terdiri dari banyak ruang dan beberapa lapisan. Tempat
shalat untuk jamaah perempuan dan laki-laki biasanya berselang seling, tidak
dibagi dua seperti di Masjid Nabawi. Kebayang kan kalo di masjid seluas kurang lebih 656.000 km2
jamaah yang merupakan suami istri harus terpisah demikian jauhnya karena tempat
shalat dibagi dua saja.
Jika dibandingkan, hawa dingin di Masjid Nabawi lebih karena
AC sedangkan di Masjidil Haram hawa dingin lebih cenderung karena kipas angin,
meskipun ada AC juga. Mungkin karena bangunan Masjidil Haram yang bertingkat
dan cenderung lebih rendah atapnya sehingga kipas angin di sini sangat kencang
untuk ukuran saya. Selanjutnya, rangkaian ibadah umroh dimulai: