Sebagai anak kampung yang datang ke kota metropolitan macam Jakarta, tentu saya pernah mengalami fase "ndeso". Dari yang gak bisa makan pakai sumpit, ketemu eskalator yang hemat energi (kelihatannya rusak, tapi otomatis akan berjalan ketika kita naik), sampai merasa asing dengan menu-menu makanan yang awalnya aneh bagi saya macam pizza, spaghetti, salad, sushi, dan steak. Kasus yang sama juga terjadi, untuk beberapa merk produk perawatan tubuh, tas, dan sepatu yang baru saya dengar.
Saya, sudah dikontrak jadi PNS sampai masa pensiun di tahun 2042. Dan sampai tahun itu (insya Allah) saya akan terus hidup di kota ini karena stabilnya struktur SDM di kantor tidak memungkinkan mutasi. Jakarta, tentu sedikit banyak mengubah diri saya. Dari yang semula hanya mengenal makanan rumah, warteg jaman kuliah, paling banter makan KFC, itu pun bisa dihitung dengan jari. Sekarang saya (dan tidak hanya saya tentunya) sudah bisa beradaptasi dengan gemerlapnya kehidupan Jakarta. Bayangkan saja, jika ada jamuan makan di restoran yang makanannya seperti yang saya sebut di atas, tentu kita tidak seharusnya menolak, bukan?
Lama-lama saya ketularan. Gaya hidup yang meningkat. Tersadar seketika saat ibu saya berkata dengan santainya, "Dulu masih mau pakai baju harga lima puluh ribu, sekarang ga mau ya.."
Kalimat ibu saya ini selalu menjadi pengingat manakala ada teman, tetangga, atau orang di sekitar saya sibuk membicarakan gadget ini, atau tas merk itu, atau sepatu yang ini, yang terbuat dari kulit, yang mahal, yang bagus, dan sejuta alasan yang menggoda kita untuk membeli.
Cukup itu dari diri sendiri. Kata ibu saya.
Dan ini hadiah-Nya:
“Barang siapa meninggalkan pakaian yang mewah-mewah karena tawadhu
kepada Allah, padahal ia mampu membelinya, maka Allah akan memanggilnya
pada hari kiamat di muka sekalian manusia untuk disuruh memilih sendiri
pakaian iman yang mana yang ia sukai untuk dipakainya.” (HR Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment