Sesaat setelah mendapat undangan untuk menjadi perantau di Jakarta, saya memutuskan untuk tinggal bersama Pakde,yang kebetulan rumahnya hanya berjarak 7 km dari tempat saya bekerja, sangat dekat untuk ukuran Jakarta. Well, setidaknya tahap itu yang harus saya lalui sebelum benar-benar mengenal kota metropolitan.
Setelah setahun berjalan, saya mendapatkan pemahaman yang lebih banyak tentang kota ini. Terminologi saya tentang pemahaman terhadap Jakarta waktu itu adalah sebatas hafal jalan di sekitar kantor dan jalan protokol, jalur angkutan umum, dan pengalaman selama setahun menjelajah kota ini. Saya memutuskan untuk tinggal di rumah kos. Hal yang sebenarnya tidak asing bagi saya karena pernah mengalami masa-masa yang serupa ketika menjadi mahasiswa.
Saya memilih kos tempat teman saya tinggal. Dengan pertimbangan harga, jarak, akses transportasi yang mudah dan nyaman, serta gambaran keadaan kos yang telah saya peroleh dari teman. Kos saya terletak dekat kampus Perbanas, memiliki 20 kamar (satu kamar di antaranya untuk pembantu). Pembantu disediakan untuk membersihkan rumah, mencuci baju, dan mengurus pembayaran kos, serta tak lupa urusan lampu yang mati, engsel rusak, ganti cat, dan sebagainya.
Selama saya kos banyak sekali mendapatkan gambaran kehidupan kota ini, meski hanya secuil. Hidup satu atap dengan banyak orang dari berbagai suku, namun tanpa mengenal akrab semua anggotanya terasa aneh bagi saya. Hanya beberapa orang yang memang sering berada di kos yang saya kenal. Bisa dibilang, satu-satunya orang yang mengenal semua anggota kos kami adalah Mbak Lastri, pembantu yang mengurus kos kami. Mbak Lastri yang berumur dua tahun lebih tua dari saya, berasal dari Cilacap. Bertemu orang satu daerah membuat saya benar-benar merasa di rumah sendiri meskipun ada di Jakarta.
Bagi saya, mbak Lastri cukup berhasil berlaku sebagai “manajer”, jika boleh disebut begitu. Dia orang yang tegas. Dia mengarahkan anak kos agar semuanya teratur. Teguran pertama yang saya dapat adalah anjuran untuk menyimpan sampah bekas makan malam jika sudah melewati pukul 8 malam, karena sampah dibuang setiap jam 8 malam. Hal ini untuk menghindari sampah yang berantakan karena tikus yang bergerilya pada malam hari. Jika ada anak yang tidak mematuhi peraturan, mbak Lastri tidak segan-segan menegur. Dia juga memberitahu saya tentang wilayah untuk menjemur baju: sebelah sini untuk anak atas, sebelah sana untuk anak bawah. Saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menganggapnya sebagai pembantu. Saling memberi dan saling membantu sudah terbiasa antara saya dan mba Lastri. Beberapa anak kos lainnya juga seperti itu.
Kebersamaan saya dengan mba Lastri hanya berlangsung delapan bulan. Dia berhenti bekerja karena sedang hamil muda (suaminya juga bekerja di Jakarta). Saya merasa kehilangan karena dia sudah mahir mengurus kos kami. Ada juga kekhawatiran penggantinya nanti tidak sebaik dia.
Setelah libur lebaran tahun 2011, kami kedatangan pembantu baru, namanya mba Yeti. Dia sebenarnya bukan orang lain, karena mba Yeti adalah kakak ipar mba Lastri (yang umurnya lebih muda dua tahun dari saya). Waktu-waktu awal mba Yeti bekerja membuat saya harus beradaptasi. Mulai dari baju yang tidak setiap hari dicuci, jadwal menguras kamar mandi di pagi hari (yang mengganggu jam sibuk pemakaian kamar mandi), sampai jadwal membuang sampah (sering berantakan di pagi hari karena semalam tidak dibuang ke luar). Saya dan teman mengarahkannya dengan maksud baik demi kelancaran tugas. Mungkin seperti ini rasanya kalau sudah berumah tangga dan harus menghadapi pembantu.
Perlahan mba Yeti sudah mengerti pola kerja mba Lastri, meskipun tidak sepenuhnya bisa sama. Mba Yeti tidak setegas mba Lastri, entah apa sebabnya: masalah usia kah? Atau memang orangnya yang lebih lugu? Saya berusaha membantunya menghadapi pemilik kos yang kadang kurang memikirkan nasib orang kecil. Saya dan teman mendukung (dan menyuruh) dia menempati kamar untuk anak kos yang ukurannya lebih besar dan lebih nyaman jika dibandingkan dengan kamarnya yang sempit. Saya membekali dengan cerita bahwa dulu mba Lastri selalu tidur di sini dan jika ditanya oleh pemilik, jawaban yang logis adalah karena kamar ini sangat dekat dengan pompa air dan tak ada yang berminat menempati karena berisik. Saya pikir ini sangat jitu, hehe…
Sejak kedatangan mba Yeti, ada beberapa anak yang keluar dari kos. Belakangan saya tahu bahwa mereka kurang suka dengan pola kerja mba Yeti dan mengadukannya ke pemilik kos. Saya pernah merasa sangat iba ketika dari dalam kamar mendengar pemilik kos memarahinya habis-habisan. Tapi memang menurut saya, pola kerjanya terkesan kurang serius karena seringkali mengobrol dengan pembantu di kosan sekitar.
Mba Yeti memperbaiki kerjanya. Kos kembali penuh. Pemilik kos senang. Dan saking senangnya sampai terobsesi untuk mengganti pompa air supaya tidak berisik. Kenapa? Agar kamar kos yang ditempati mba Yeti bisa laku. Mba Yeti kebingungan dan meminta bantuan untuk memikirkan jawaban yang bisa diterima jika nanti pemilik menanyakan alasan kenapa kamar belum juga laku? Karena mba Yeti tentu saja akan bilang kamar penuh ketika ada orang mencari kamar, hehe. Dan sampai saya buat tulisan ini belum saya temukan jawaban logisnya.
Sebelum kos kami penuh, ada beberapa orang yang datang mencari kamar. Kami memang sudah menanamkan stigma pada mba Yeti bahwa jika yang datang adalah mahasiswa, maka seleksi lebih ketat. Kenapa? Pertama, karena mahasiswa biasanya berisik, sedangkan mayoritas anak kos adalah karyawati yang butuh istirahat di malam hari (hanya ada satu mahasiswi, dan orangnya memang kalem). Kedua, karyawati lebih diutamakan karena pembayarannya relatif lebih disiplin (dapat gaji tiap bulan). Stigma itu sudah ada sejak masa “pemerintahan” mba Lastri, hehe..
Dan ini cerita mba Yeti yang membuat saya hampir pingsan. Suatu malam ada dua orang datang melihat kamar. Mereka mahasiswi. Berisik. Pertama datang saja sudah berisik. Lalu terjadilah percakapan ini..
“Mbak, kalo di sini kebanyakan kerja ya?
“Iya mbak..”
“Oh..gitu ya. Kalo ada temen main ke sini boleh mba?”
“Ya boleh..”
“Kalo misal temen-temenku main, terus berisik, ada yang complain gak?”
“Bukan ada lagi mbak, tapi banyak…”
“Oh gitu ya..kalo temen nginep boleh mbak?”
“Boleh, sebenernya sih bayar tiap malem 20 ribu, tapi kalo tante (pemilik kos – red) ga tau, ya gapapa, kalo cuma semalem sih..”
“Oh gitu ya..mmm kalo cowok yang main boleh ga mba?”
“Boleh mba..tapi ya ngerti waktu aja..”
“Kalo cowok nginep boleh ga mba?”
*Astaghfirullah…eddyyaaann tenaannn…mata saya terbelalak, dahi saya berkerut mendengar mbak Yeti menceritakan kalimat ini, ckckckck.. “Terus mba jawab apa?”
“Gak boleh mba..”
“Kenapa gak boleh mba? Di (kosan) depan (cowok) boleh nginep..”
“Kenapa gak boleh mba? Di (kosan) depan (cowok) boleh nginep..”
“Ya kalo mau, (ngekos) di sana aja mba.. Di sini gak boleh mba.. jam 8 aja udah disuruh pulang..apalagi nginep..”
*Padahal jam bertamu itu jam 10 malam, tapi mba Yeti kesel katanya, jadi dia jawab begitu, hahaha
“Kok ga boleh nginep, kan gak ngapa2in mba…”
*Ya ampuuunnnn…jaman apa ini?? Mana ada cowok dan cewek bukan muhrim berdua di kamar semalaman tanpa terjadi apa-apa?
“Kalo gak ngapa-ngapain, terus ngapain cowoknya nginep mba?”
*TOP, jawaban ini tepat banget membuat mahasiswi itu skak mat, hahaha
Awalnya saya kira mahasiswi itu tidak jadi menempati kosan kami. Tapi ternyata dia masuk. Dan, Alhamdulillah sampai saat ini keadaan masih aman terkendali. Kamar saya yang berada di depan (dekat dengan pintu masuk) memberikan kemudahan untuk mengawasi penyelewengan-penyelewengan norma, etika, dan tata krama, dan juga nilai-nilai agama.
Saya membayangkan betapa sedihnya orang tua para mahasiswa yang bersikap seperti itu (bahkan lebih parah) jika mereka tahu cerita di atas. Sejenak saya mengingatkan diri saya sendiri, “Ini Jakarta, Nduk..”
No comments:
Post a Comment