Saturday, September 22, 2012

ART oh ART



Setelah mengalami dua kali ganti pembantu kos dan beberapa kejadianmengejutkan sebelumnya, saya menjadi lebih waspada terhadap pembantu. Bagaimanapun dia tetap orang lain yang tidak bisa kita beri kepercayaan 100%.

Pembantu ketiga, mbak Yati, memang rajin. Pekerjaannya rapi dan dia pintar membagi waktu. Dia juga senang memasak. Tak jarang saya memintanya membelikan sayuran di tukang sayur keliling karena harus berangkat ke kantor pagi hari.

Saya dan dua orang teman, bertiga, memasak bersama. Kami patungan uang belanja. Jumlahnya tidak tentu, biasanya dua puluh ribu rupiah sekali patungan. Jangka waktunya pun tidak tentu. Jika habis, kami patungan lagi. Pengelolaan uang kami percayakan pada mbak Yati karena tiap pagi kami minta dibelikan sayuran untuk dimasak pada sore harinya. Oh ya, semenjak kejadian penggeledahan dan insiden alat listrik, kami sepakat untuk numpang memasak nasi pada mbak Yati. Kami menyerahkan beras, mbak Yati yang memasak.

Mbak Yati rutin mencatat pengeluaran belanja tiap hari. Jika sudah habis, dia  cukup bilang kepada salah satu dari kami bertiga, uang kami beri lagi. Begitu saja selama beberapa minggu. Sampai suatu hari...

Desi, salah satu dari kami, kaget karena ternyata uang belanja patungannya sudah termasuk pembelian beras. Selama ini dia memberi mbak Yati uang sebesar dua ribu rupiah setiap kali mengambil nasi dari mbak Yati (anggap saja membeli). Padahal sudah sangat jelas, ketika menyerahkan beras saya berkata, ini beras untuk kami bertiga: saya, mbak Emi, dan Desi. Ditambah lagi cerita teman-teman lain yang sangat mengetahui persis harga sayuran. Juga tentang hitungan beras yang tidak masuk akal, terlalu cepat habis untuk porsi makan kami yang seukuran diet (bukan diet juga sih maksudnya). Intinya, mbak Yati tidak jujur dalam mengelola keuangan belanja kami (mark up harga dan pemborosan beras).

Kami berunding. Mengambil sikap, memutuskan bahwa kami akan memasak nasi sendiri (berlima). Kami juga akan membeli sayuran sendiri. Kebetulan, Desi masuk lebih siang dan lokasi kantornya sangat dekat dengan kos. Sejak saat itu kami tidak bisa percaya 100% pada mbak Yati. Kunci kamar selalu terkunci, meski hanya menjemur cucian, ke kamar mandi atau ke dapur.

Muncul ide untuk sekedar menguji. Saya menaruh uang kecil di saku baju. Dua kali saya menaruhnya, tidak ada yang kembali setelah dia cuci. Bukan apa-apa, ide ini saya dapat dari teman-teman yang sudah berumah tangga sebagai salah satu cara untuk mengetes ART.

Memiliki asisten rumah tangga sepertinya sebuah keharusan bagi ibu rumah tangga yang bekerja, apalagi di kota besar. Tapi kenyataannya kondisi sekarang tidak semudah dulu. Katanya, dulu lebih mudah , mencari ART yang jujur dan bisa bekerja dengan baik. Sekarang ini, urusan kantor bisa jadi nomor sekian jika sudah dilanda krisis ART. Alternatif yang mungkin adalah memiliki ART tapi tetap ada pihak keluarga yang mengawasi, misal orang tua kita. Ada juga pemikiran (dari teman-teman yang sudah hopeless) untuk resign dan fokus menjadi ibu rumah tangga: mengurus anak, suami, dan rumah.

Alasan yang sepertinya cukup kuat untuk mempertahankan pekerjaan adalah karena umur manusia (suami) tidak bisa diduga. Perempuan harus siap ditinggal kapan pun, pesan ibu saya.

No comments:

Post a Comment