Kereta api selalu menjadi pilihan saya dan beberapa teman untuk pulang
kampung. Tetapi tidak semua orang suka naik kereta. Pertimbangannya karena
lokasi rumah yang cukup jauh dari stasiun. Belakangan ini kereta jenis ekonomi
AC menjadi alternatif bagi saya untuk pulang mudik. Ada sebagian yang tidak
suka. Alasannya karena privasi yang kurang. Maklum saja, meskipun dilengkapi
dengan AC, karena namanya kelas ekonomi tetap saja penumpang duduk berhadapan.
Bukan berarti saya setuju dengan diskriminasi, tetapi memang terasa sekali
ada perbedaan dalam kelas-kelas kereta tersebut. Salah satu perbedaan ini bisa
dilihat pada saat kereta akan berangkat dari stasiun. Penumpang kelas eksekutif
dan bisnis umumnya lebih tenang saat memasuki kereta. Keadaan ini berbeda
dengan penumpang kelas ekonomi yang terlihat panik dan terburu-buru memasuki
gerbong kereta. Padahal sekarang ini semua penumpang dengan tiket yang sah
dijamin mendapatkan tempat duduk. Saya benar-benar merasakannya ketika menaiki
kereta kelas ekonomi. Maklum saja, saya sudah pernah mencicipi tiga kelas
kereta tersebut.
Pun ketika kita sudah duduk di dalam kereta. Menurut saya, penumpang kelas
eksekutif bisa dibilang paling individualis. Duduk, memasang bantal, memakai
selimut, memasang headphone lalu tidur, atau asik dengan gadgetnya
sendiri-sendiri, tanpa mengobrol banyak. Penumpang kelas bisnis dan ekonomi
tentu saja mau diajak mengobrol lebih banyak dari pada penumpang kelas
eksekutif. Dan tentu saja untuk kelas ekonomi, karena tempat duduknya berhadap-hadapan,
obrolan dengan sesama penumpang seringkali terasa hangat dan akrab.
Pulang kampung selalu menjadi agenda rutin tiap kali ada angka tercetak
dengan tinta merah mendekati weekend. Tak terkecuali semalam. Saya pulang
kampung karena hari ini, Kamis 15 November, bertepatan dengan Tahun Baru
Hijriyah 1434 H. Saya dan seorang teman memilih kereta kelas ekonomi AC.
Penumpang di depan kami adalah dua orang laki-laki paruh baya. Keduanya berusia
40 dan 50 tahunan. Berawal dari obrolan ringan hanya seputar tempat tujuan,
tempat bekerja..maka mengalirlah obrolan panjang.
Mereka (kedua laki-laku itu) sudah sering pulang menggunakan kereta api.
Yang satu, sudah hampir dua tahun pulang ke Jogja tiap minggu karena
keluarganya di sana. Sedangkan yang satu, sudah 8 tahun pulang ke Jogja sebulan
sekali. “Sejak tiket kereta masih 2.500 sampai sekaran jadi 150.000 mbak..”
Satu hal yang paling berkesan dari obrolan tadi malam adalah tentang calo
tiket kereta yang tetap masih ada meskipun sistem penjualan online telah
diberlakukan. Menurut salah seorang bapak itu, ada beberapa cara calo tiket
kereta beroperasi.
Pertama, calo tiket memiliki koneksi kuat dengan “orang dalam” alias
karyawan PT KAI. Calo sudah mempunyai jatah tiketnya sendiri. Calon penumpang
cukup memberikan nomor identitas yang diperlukan untuk pemesanan. Tiket sesuai
nama penumpang siap digunakan.
Kedua, calo tiket memiliki koneksi dengan petugas loket. Calo sudah membeli
tiket seperti biasa. Jika ada calon pembeli yang berminat, maka dilakukan
perubahan nama penumpang. Hal ini sulit dilakukan oleh orang awam karena
petugas selalu berkata bahwa jika tiket sudah dibatalkan, maka tidak ada
jaminan bisa didapatkan kembali karena ada banyak orang yang bisa mengakses
tiket dengan sistem online. “Tapi kenyataannya masih bisa mbak..” kata bapak
itu.
Ketiga, bagi calo yang tidak memiliki koneksi, masih bisa beroperasi,
asalkan memiliki modal yang cukup besar. Sistem online memang memudahkan siapa
saja untuk memesan tanpa batasan lokasi. Namun, sistem ini juga memberikan
keuntungan bagi calo. Calo memesan tiket dalam jumlah banyak sesuai prosedur
(tentu saja menggunakan identitas yang benar, jumahnya tergantung besarnya
modal si calo). Seketika saya teringat, pernah memesan dua tiket kereta dengan jadwal
yang sama menggunakan dua nama yang sama dan sistem bisa menerima. Ternyata
memang sistem ini masih ada kelemahan. (Atau memang sengaja dibuat?) Biasanya,
calo menyediakan dua jenis tiket, yaitu tiket dengan nama laki-laki dan tiket
dengan nama perempuan. Jika calon penumpang laki-laki, maka tiket yang dijual
adalah tiket laki-laki. Begitu pula sebaliknya. Saat mendekati jadwal keberangkatan, calo akan melakukan check-in agar tiketnya mendapat stempel “TELAH
DIPERIKSA” dari petugas. Bahkan, ada juga yang membuat stempel sendiri -_-" Setelah itu, tiket bisa diberikan pada calon penumpang
dan penumpang dapat masuk dengan leluasa.
Sistem pemesanan tiket online memang mempermudah penumpang mengakses
pemesanan tanpa harus menelepon operator dan tanpa mengantri di stasiun. Namun
tanpa sistem yang well-developed, tentu saja akan membuka peluang kecurangan.
Tidak dipungkiri, calo tiket kereta api memang masih ada. Namun, hanya yang
bermodal besar dan memiliki koneksi kuatlah yang masih mampu bertahan. Harga
tiketnya sendiri? Jangan tanya, bisa sampai 4 kali lipat.
Thursday, November 15, 2012
Wednesday, November 14, 2012
Cukup
Sebagai anak kampung yang datang ke kota metropolitan macam Jakarta, tentu saya pernah mengalami fase "ndeso". Dari yang gak bisa makan pakai sumpit, ketemu eskalator yang hemat energi (kelihatannya rusak, tapi otomatis akan berjalan ketika kita naik), sampai merasa asing dengan menu-menu makanan yang awalnya aneh bagi saya macam pizza, spaghetti, salad, sushi, dan steak. Kasus yang sama juga terjadi, untuk beberapa merk produk perawatan tubuh, tas, dan sepatu yang baru saya dengar.
Saya, sudah dikontrak jadi PNS sampai masa pensiun di tahun 2042. Dan sampai tahun itu (insya Allah) saya akan terus hidup di kota ini karena stabilnya struktur SDM di kantor tidak memungkinkan mutasi. Jakarta, tentu sedikit banyak mengubah diri saya. Dari yang semula hanya mengenal makanan rumah, warteg jaman kuliah, paling banter makan KFC, itu pun bisa dihitung dengan jari. Sekarang saya (dan tidak hanya saya tentunya) sudah bisa beradaptasi dengan gemerlapnya kehidupan Jakarta. Bayangkan saja, jika ada jamuan makan di restoran yang makanannya seperti yang saya sebut di atas, tentu kita tidak seharusnya menolak, bukan?
Lama-lama saya ketularan. Gaya hidup yang meningkat. Tersadar seketika saat ibu saya berkata dengan santainya, "Dulu masih mau pakai baju harga lima puluh ribu, sekarang ga mau ya.."
Kalimat ibu saya ini selalu menjadi pengingat manakala ada teman, tetangga, atau orang di sekitar saya sibuk membicarakan gadget ini, atau tas merk itu, atau sepatu yang ini, yang terbuat dari kulit, yang mahal, yang bagus, dan sejuta alasan yang menggoda kita untuk membeli.
Cukup itu dari diri sendiri. Kata ibu saya.
Dan ini hadiah-Nya:
“Barang siapa meninggalkan pakaian yang mewah-mewah karena tawadhu kepada Allah, padahal ia mampu membelinya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di muka sekalian manusia untuk disuruh memilih sendiri pakaian iman yang mana yang ia sukai untuk dipakainya.” (HR Tirmidzi)
Saya, sudah dikontrak jadi PNS sampai masa pensiun di tahun 2042. Dan sampai tahun itu (insya Allah) saya akan terus hidup di kota ini karena stabilnya struktur SDM di kantor tidak memungkinkan mutasi. Jakarta, tentu sedikit banyak mengubah diri saya. Dari yang semula hanya mengenal makanan rumah, warteg jaman kuliah, paling banter makan KFC, itu pun bisa dihitung dengan jari. Sekarang saya (dan tidak hanya saya tentunya) sudah bisa beradaptasi dengan gemerlapnya kehidupan Jakarta. Bayangkan saja, jika ada jamuan makan di restoran yang makanannya seperti yang saya sebut di atas, tentu kita tidak seharusnya menolak, bukan?
Lama-lama saya ketularan. Gaya hidup yang meningkat. Tersadar seketika saat ibu saya berkata dengan santainya, "Dulu masih mau pakai baju harga lima puluh ribu, sekarang ga mau ya.."
Kalimat ibu saya ini selalu menjadi pengingat manakala ada teman, tetangga, atau orang di sekitar saya sibuk membicarakan gadget ini, atau tas merk itu, atau sepatu yang ini, yang terbuat dari kulit, yang mahal, yang bagus, dan sejuta alasan yang menggoda kita untuk membeli.
Cukup itu dari diri sendiri. Kata ibu saya.
Dan ini hadiah-Nya:
“Barang siapa meninggalkan pakaian yang mewah-mewah karena tawadhu kepada Allah, padahal ia mampu membelinya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di muka sekalian manusia untuk disuruh memilih sendiri pakaian iman yang mana yang ia sukai untuk dipakainya.” (HR Tirmidzi)
Saturday, September 22, 2012
ART oh ART
Setelah mengalami dua kali ganti pembantu kos dan beberapa kejadianmengejutkan sebelumnya, saya menjadi lebih waspada terhadap pembantu.
Bagaimanapun dia tetap orang lain yang tidak bisa kita beri kepercayaan 100%.
Pembantu ketiga, mbak Yati, memang rajin. Pekerjaannya rapi
dan dia pintar membagi waktu. Dia juga senang memasak. Tak jarang saya
memintanya membelikan sayuran di tukang sayur keliling karena harus berangkat
ke kantor pagi hari.
Saya dan dua orang teman, bertiga, memasak bersama. Kami patungan
uang belanja. Jumlahnya tidak tentu, biasanya dua puluh ribu rupiah sekali
patungan. Jangka waktunya pun tidak tentu. Jika habis, kami patungan lagi. Pengelolaan
uang kami percayakan pada mbak Yati karena tiap pagi kami minta dibelikan
sayuran untuk dimasak pada sore harinya. Oh ya, semenjak kejadian penggeledahan
dan insiden alat listrik, kami sepakat untuk numpang memasak nasi pada mbak
Yati. Kami menyerahkan beras, mbak Yati yang memasak.
Mbak Yati rutin mencatat pengeluaran belanja tiap hari. Jika
sudah habis, dia cukup bilang kepada
salah satu dari kami bertiga, uang kami beri lagi. Begitu saja selama beberapa
minggu. Sampai suatu hari...
Desi, salah satu dari kami, kaget karena ternyata uang
belanja patungannya sudah termasuk pembelian beras. Selama ini dia memberi mbak
Yati uang sebesar dua ribu rupiah setiap kali mengambil nasi dari mbak Yati
(anggap saja membeli). Padahal sudah sangat jelas, ketika menyerahkan beras
saya berkata, ini beras untuk kami bertiga: saya, mbak Emi, dan Desi. Ditambah
lagi cerita teman-teman lain yang sangat mengetahui persis harga sayuran. Juga
tentang hitungan beras yang tidak masuk akal, terlalu cepat habis untuk porsi
makan kami yang seukuran diet (bukan diet juga sih maksudnya). Intinya, mbak
Yati tidak jujur dalam mengelola keuangan belanja kami (mark up harga dan
pemborosan beras).
Kami berunding. Mengambil sikap, memutuskan bahwa kami akan
memasak nasi sendiri (berlima). Kami juga akan membeli sayuran sendiri.
Kebetulan, Desi masuk lebih siang dan lokasi kantornya sangat dekat dengan kos.
Sejak saat itu kami tidak bisa percaya 100% pada mbak Yati. Kunci kamar selalu
terkunci, meski hanya menjemur cucian, ke kamar mandi atau ke dapur.
Muncul ide untuk sekedar menguji. Saya menaruh uang kecil di
saku baju. Dua kali saya menaruhnya, tidak ada yang kembali setelah dia cuci.
Bukan apa-apa, ide ini saya dapat dari teman-teman yang sudah berumah tangga
sebagai salah satu cara untuk mengetes ART.
Memiliki asisten rumah tangga sepertinya sebuah keharusan
bagi ibu rumah tangga yang bekerja, apalagi di kota besar. Tapi kenyataannya
kondisi sekarang tidak semudah dulu. Katanya, dulu lebih mudah , mencari ART
yang jujur dan bisa bekerja dengan baik. Sekarang ini, urusan kantor bisa jadi
nomor sekian jika sudah dilanda krisis ART. Alternatif yang mungkin adalah
memiliki ART tapi tetap ada pihak keluarga yang mengawasi, misal orang tua
kita. Ada juga pemikiran (dari teman-teman yang sudah hopeless) untuk resign
dan fokus menjadi ibu rumah tangga: mengurus anak, suami, dan rumah.
Alasan yang sepertinya cukup kuat untuk mempertahankan
pekerjaan adalah karena umur manusia (suami) tidak bisa diduga. Perempuan harus
siap ditinggal kapan pun, pesan ibu saya.
Tuesday, September 11, 2012
Kejutan 11 September
Sore ini saya pulang telat. Ada tugas mendadak. Pergi ke Mal Grand Indonesia, membeli souvenir untuk tamu dari Jepang yang akan rapat bersama tim kami besok pagi.
Sesampainya di kos, saya disambut berita bahagia. Kami dapat kulkas baru. Khususnya untuk anak-anak lantai dua. Belum lama euforia itu dinikmati. Saya cek hp. Ada dua pesan. Dari tante Veronica, pemilik kos. Selagi saya buka sms tante, mbak Yati menceritakan kabar tidak enak.
Siang tadi tante menggeledah kamar anak-anak. Siapa lagi penyebabnya kalo bukan provokasi mba Yeti (pembantu sebelumnya, yang sudah berhenti sebelum lebaran kemarin).Tante pemilik kos membuka kamar anak-anak menggunakan kunci duplikat.
Ternyata sms tante berisi penjelasan bahwa tadi siang tante masuk kamar anak-anak, disertai penjelasan karena tadi listrik mati. Intinya tentang ketertiban pembayaran. Saya memberitahu tante bahwa saya memang punya magicom, dan sewaktu puasa dipakai bersama dengan mba Yeti karena magicom milik dia (yang dia dapat dari pemberian anak kos) dibawa suaminya ke Bogor karena tempat kerjanya jauh dari warung makan. Setelah libur lebaran, hampir tidak saya pakai karena mbak Yati sering memberi kami nasi untuk makan malam.
Beberapa anak, terutama anak lama, termasuk saya, kecewa. Jelas. Karena kamar kami dibuka tanpa ijin. Kekecewaan saya bertambah. Baru kemarin nama saya dibawa-bawa mba Yeti, sore ini ada lagi kejadian yang hampir tidak pernah terjadi selama 6 tahun terakhir: penggeledahan kamar. Bu Mar, tetangga kos kami, bilang dia juga kecewa karena namanya dibawa-bawa, sebagai salah satu orang yang mengajari mbak Yeti mengkorupsi uang kos.
Bu Mar sempat bertanya pada saya, pernah nyoba sms Yeti gak Riz? Sampai hari ini saya masih belum mau mencobanya. Malas. Kesal. Kecewa. Campur jadi satu.
Saya belajar satu hal, untuk tidak terlalu percaya pada orang, meskipun sama dengan saya (sama-sama orang kampung yang merantau di Jakarta). Memperlakukan orang terlalu baik sekaligus memberi toleransi terlalu besar akan kewajibannya sama saja memanjakannya. Dan ini bisa membuatnya besar kepala.
Sesampainya di kos, saya disambut berita bahagia. Kami dapat kulkas baru. Khususnya untuk anak-anak lantai dua. Belum lama euforia itu dinikmati. Saya cek hp. Ada dua pesan. Dari tante Veronica, pemilik kos. Selagi saya buka sms tante, mbak Yati menceritakan kabar tidak enak.
Siang tadi tante menggeledah kamar anak-anak. Siapa lagi penyebabnya kalo bukan provokasi mba Yeti (pembantu sebelumnya, yang sudah berhenti sebelum lebaran kemarin).Tante pemilik kos membuka kamar anak-anak menggunakan kunci duplikat.
Ternyata sms tante berisi penjelasan bahwa tadi siang tante masuk kamar anak-anak, disertai penjelasan karena tadi listrik mati. Intinya tentang ketertiban pembayaran. Saya memberitahu tante bahwa saya memang punya magicom, dan sewaktu puasa dipakai bersama dengan mba Yeti karena magicom milik dia (yang dia dapat dari pemberian anak kos) dibawa suaminya ke Bogor karena tempat kerjanya jauh dari warung makan. Setelah libur lebaran, hampir tidak saya pakai karena mbak Yati sering memberi kami nasi untuk makan malam.
Beberapa anak, terutama anak lama, termasuk saya, kecewa. Jelas. Karena kamar kami dibuka tanpa ijin. Kekecewaan saya bertambah. Baru kemarin nama saya dibawa-bawa mba Yeti, sore ini ada lagi kejadian yang hampir tidak pernah terjadi selama 6 tahun terakhir: penggeledahan kamar. Bu Mar, tetangga kos kami, bilang dia juga kecewa karena namanya dibawa-bawa, sebagai salah satu orang yang mengajari mbak Yeti mengkorupsi uang kos.
Bu Mar sempat bertanya pada saya, pernah nyoba sms Yeti gak Riz? Sampai hari ini saya masih belum mau mencobanya. Malas. Kesal. Kecewa. Campur jadi satu.
Saya belajar satu hal, untuk tidak terlalu percaya pada orang, meskipun sama dengan saya (sama-sama orang kampung yang merantau di Jakarta). Memperlakukan orang terlalu baik sekaligus memberi toleransi terlalu besar akan kewajibannya sama saja memanjakannya. Dan ini bisa membuatnya besar kepala.
Thursday, September 6, 2012
Himpitan Ekonomi
Pasca lebaran ini saya kedatangan asisten (pembantu) baru di
kos. Mbak Yeti, asisten sebelumnya gak balik lagi karena repot mengurus bayikembar yang dilahirkan di kos bulan Mei kemarin. Asisten kami yang baru namanya
mbak Yati. Nama boleh mirip, tapi kerjanya..beda jauh. Maklum, mbak Yati
sebelumnya bekerja di kos dengan 35 kamar bersama dua rekannya.
Semalam tante pemilik kos datang, tante Vero namanya.
Tanggal muda seperti ini apalagi kalo bukan urusan pembayaran (karena batas
akhir pembayaran adalah tanggal 5 setiap bulannya). Tante Vero memeriksa anak
yang belum membayar, mencarinya, dan menagihnya. Hihi..untuk urusan begini saya
lebih baik tertib daripada kena masalah.
Saat saya sedang ngobrol dengan beberapa teman, tiba-tiba
tante panggil saya, ngobrol berdua. Kami semua bertanya-tanya, tante mau
ngomongin apa sih?
“Riz, kamu tau kan yang kemarin aku cerita Yeti korupsi uang
kos..” Hari sebelumnya tante sms saya tentang hal ini.
“Iya tante..itu gimana sih kok bisa?”
“Jadi anak udah bayar tapi dia bilang belum kasih
uang..kemarin sebelum dia mudik itu.. Padahal aku tanya anaknya, dia bilang
udah kasih uang ke Yeti. Trus kemarin aku desak, akhirnya dia ngaku kalo dia
emang ambil itu uang kos punya anak..”
“Ya ampun...kok bisa ya tan..”
“Katanya gini, kok gaji saya gak sama kaya si Lastri
(pembantu sebelum Yeti yang juga adik iparnya sendiri). Aku bilang, lho kamu
kan pertama kerja ya ga dapat segitu, Lastri itu udah 6 tahun ikut aku dan
kerjaannya beres, gak kaya kamu. Di mana-mana orang kerja itu ya liat dulu
kerjanya, baru gajinya naik dikit dikit.”
“Oh iya sih..”
“Lha trus dia bilang, katanya Lastri gajinya sampe 3 juta. Hah? Aku bilang, 3 juta dari mana?
Kamu jangan percaya tetangga-tetangga depan yang suka gosip itu. Katanya,
anak-anak ada yang suka kasih. Lah, sekarang aku gak masalah kalo anak kos
ngasih pembantu, itu hak kalian kalo mo kasih tip tiap bulan misal sering minta
tolong. Trus saya bilang, Lastri itu kerjanya bagus, kalo kamu kerjanya bagus
kan anak-anak juga ga sayang mo kasih kamu tip. Gitu.. Trus dia juga bilang
Lastri munafik lah..apa lah.. Padahal kan yang kasih dia kerjaan si Lasti. Dia
itu banyak utang di kampung. Makanya Lastri kasian, dikasih kerjaan biar dia
bisa bayar utangnya. Tapi udah ditolongin malah bilang begitu..”
“Iya sih tan..aku juga kasih order cucian sama mba
Lastri..kalo ke mba Yeti aku kasih harga sama juga padahal kalo mo dibilang ya
kerjanya beda sama mba Lastri.”
“Nah..aku sih gak ngelarang gitu-gituan..trus dia bilang
gini, ibu ga tau itu anak-anak juga pada bawa macem-macem, tapi pada diumpetin
aja, pada bawa magicom, dispenser (terkena terif 50 ribu per item). Kalo ga
percaya itu tanya aja mba Rizka, malah dia yang ngajarin, asal tante gatau aja
kan gapapa. Ehh aku bilang, lho kamu kenapa ga bilang ke saya, apa uangnya kamu ambil juga ya, ya udah ntar aku
tanya ama Rizka bener apa ga. Wah Riz, aku udah kecewa banget deh ama dia..aku
baik-baikin, waktu neneknya dateng aku kasih sangu, anaknya lahir aku beliin
baju..kok dia bisa-bisanya ambil itu uang kos. Ya udah lah aku ikhlasin aja..”
“Ohh...iya tan..”
“Makanya sekarang tiap kali pada bayar kos, aku kasih
kuitansi buat bukti ya.”
“Oh pantesan kok tumben pake kuitansi segala..”
“Iya takut uang ga sampe ke aku.”
FYI, dari sejak jaman mba Lastri, memang tarif bayar alat
listrik gak berjalan. Sudah begitu dari dulunya. Anak-anak lebih suka memberi
tip buat mba Lastri daripada uang itu dipakai untuk membayar alat listrik
tambahan. Di samping itu, anak-anak juga merasa tarifnya terlalu mahal. Kami
beralibi, toh magicom itu cuma dipakai ketika memasak saja, tidak terus
menerus dinyalakan.
Bukan hanya tante yang kecewa, saya juga. Sejak kecil saya
selalu diajari untuk bersikap baik pada pembantu rumah tangga (gak perlu lah ya
disebutin di sini, hehe). Tapi ternyata sifat manusia bisa berubah di luar
dugaan kita. Sepupu saya juga mengalami hal serupa dengan ART-nya. Si ART
bilang pada orang tuanya bahwa selama ikut majikannya, makannya kurang. Padahal
kenyataannya tidak demikian. Sepupu saya itu termasuk baik dan royal dalam hal
makanan, tidak pernah membedakan makanan untuk dia sendiri dan ART. Atau memang
ART sekarang semakin bertingkah karena tingginya permintaan ya? Hehe..
Cerita tante membawa saya pada satu kesimpulan. Bahwa himpitan
ekonomi bisa mengubah orang untuk melakukan apa saja. Pertanyaan saya tentang
kelahiran bayi kembar mba Yeti juga sudah terjawab. Kenapa mba Yeti tidak
pernah memeriksakan kandungannya? Kenapa tidak ada selembar baju pun saat
kelahiran si kembar? Jawabannya adalah karena himpitan ekonomi.
Wednesday, August 15, 2012
Home-made Food
Ada yang
istimewa selama bulan puasa kali ini. Selama hampir satu bulan saya tidak
pernah membeli makan untuk buka puasa
maupun sahur di warteg. Yup, anak kos
memang selama ini identik dengan warteg.
Semenjak saya kuliah pun sudah sering membeli makan di warteg. Namun entah karena memang berbeda, atau karena perasaan
saya saja, saya merasa masakan warteg
di Jakarta tidak seenak masakan warteg
di Purwokerto, tempat saya kuliah dulu.
Dulu sebelummbak Yeti (pembantu kos saya) melahirkan, saya memang minta dimasakkan sayur
untuk makan malam dengan membayar 100 ribu rupiah per bulan. Tapi setelah mba
Yeti melahirkan dan memiliki sepasang anak kembar, saya berhenti berlangganan
masakannya. Bulan puasa ini saya kembali ingin merasakan home-made food. Melihat kondisi sekarang ini, tentu mbak Yeti tidak
bisa memasak untuk saya.
Selama bulan
puasa, saya dan mbak Emi (teman baru di kos) memasak makanan sendiri, mulai
dari nasi, sayur, lauk, bahkan dessert.
Mbak Yeti lah yang banyak mengajari kami memasak. Dari dia, saya dapat belajar
banyak hal tentang dunia masak memasak. Maklum, perempuan seumuran saya tentu
sudah seharusnya memperdalam ilmu masak memasak, hehe.. Namun dengan status
saya sebagai anak kos, tentu tidak mudah menemukan kondisi yang mendukung untuk
belajar memasak.
Kos kami
memiliki sebuah dapur yang sederhana. Ada kompor gas, memang. Tetapi ruang yang
disebut dapur itu tidak lebih dari 2x2 meter, belum lagi sebuah lemari kecil ditambah
rak tempat piring dan peralatan masak. Meski sederhana, ternyata dari situ ‘lahir’
berbagai masakan yang (bagi saya) bisa dikatakan lebih baik dari masakan warteg.
Kami bisa berbelanja
sayurandi tukang sayur yang mangkal
di dekat kosan setiap pagi. Tentu saja kami hanya bisa membelinya pada hari
Sabtu atau Minggu, saat libur kerja. Mbakk Yeti juga pernah mengajak kami
berbelanja di pasar yang dia sebut pasar Mencos (namanya lucu, hehe). Dia, dengan semangatnya
menjelaskan bahwa kita bisa mendapat sayuran
dan bahan mentah lainnya dengan harga yang lebih murah di pasar itu. Harga di
tukang sayur bagi saya sudah murah dibandingkan dengan supermarket macam
Carrefour atau Superindo. Ternyata memang benar.. setelah saya terjun langsung ke pasar, harganya
bisa jauh lebih murah lagi. Bayangkan saja, kami bertiga (saya, mbak Emi, dan
mbak Yeti) patungan 50 ribu rupiah per orang untuk berbelanja. Uang sebanyak
itu sudah cukup untuk makan selama seminggu, dengan lauk ikan lele, ikan
kembung, ikan pindang, belum lagi ditambah buah pepaya, dan es blewah..
Ternyata tidak sulit untuk hidup hemat di Jakarta. Asalkan, kita mau berbelanja
di pasar tradisional.
Ada beberapa
hal baru yang didapat dari hasil belajar memasak saya pada mbak Yeti yang
berasal dari Jawa Timur. Ternyata, setiap daerah punya kebiasaan sendiri dalam
memasak. Kuncinya, kita harus mau menerima saran atau masukan dari orang lain
dan berani mencoba resep baru. Because
you’ll never know till you have tried. And these are new recipes I’ve learned
from her..
- Tambahkan sisiran jagung manis yang telah ditumbuk ke dalam kuah sayur bayam agar rasa manis dari jagung terasa dan kuah yang dihasilkan berwarna kekuningan. Campurkan ke dalam kuah yang dibumbui garam, bawang merah, bawang putih, dan kencur (bisa diganti dengan kunci). Masukkkan daun bayam, tambahkan sedikit daun kemangi agar terasa segar dan harum.
- Menambahkan kemiri pada tepung tempe goreng akan membuat tempe lebih gurih dan renyah. Biasanya saya hanya membuat bumbunya dengan bawang putih, ketumbar, dan garam. Jika ditambahkan sedikit cabai merah besar akan menghasilkan tepung yang agak kemerahan dan sedikit pedas.
- Merendam irisan tempe goreng dengan air garam sebelum digoreng dengan tepung akan membuat tempe terasa lebih asin.
- Cah kangkung akan matang dalam keadaan hijau segar jika kangkung dimasukkan setelah air mendidih. Caranya, tumis bumbu hingga harum, setelah itu tambahkan air sesuai yg diinginkan. Tambahkan garam dan penyedap lain. Jika rasanya sudah pas sesuai selera, baru masukkan kangkung. Hal ini akan membuat kangkung matang karena direbus dalam air, sehingga warnanya tetap hijau segar tidak pucat atau kecoklatan.
- Menambahkan sedikit kemiri pada sambal membuat sambal lebih gurih. Goreng cabai merah, cabai rawit, bawang merah, tomat, terasi dan kemiri. Tambahkan garam dan sedikit gula pasir (atau gula merah) lalu tumbuk hingga halus.
- Saya pernah juga bereksperimen membuat es durian. Tak sengaja saat belanja di Carrefour menemukan durian monthong dengan harga murah, sekitar 30 ribu rupiah per buah. Karena merasa kebanyakan, kami memutuskan untuk membuat es durian. Caranya, enam biji durian monthong dibuang bijinya. Tambahkan satu sachet susu kental manis putih (bisa juga diganti dengan krimer), aduk hingga tercampur dan durian menjadi lebih halus. Tambahkan air putih atau es batu sesuai rasa manis yang diinginkan. Jika ingin tekstur yang lebih keras seperti es krim, cukup masukkan ke dalam freezer hingga sedikit mengeras.
Dari kiri searah jarum jam: bakwan jagung, sayur bayam, sambal terasi, dendeng Aceh, es durian. |
Perubahan yang sangat dirasakan ketika menjadi anak kos adalah masalah makanan. Lingkungan kos-kosan yang terbiasa dengan warteg dan rasa masakan yang standar-standar saja memang seringkali membuat saya ingin pulang. Sekarang rasa homesick tidak terlalu mudah menyerang setelah bisa memasak makanan sendiri. Dan sepertinya sudah seharusnya kita berterimakasih pada ibu yang telah menyediakan makanan terbaik untuk kita sejak kecil.
Monday, July 30, 2012
PCPM Bank Indonesia
Setelah ada permintaan dari beberapa junior di
kampus, tulisan ini dibuat atas permintaan mereka yang sedang mengikuti seleksi
PCPM XXVI. Daripada saya harus menjawab sms satu per satu, check it out saja..
Entah dari mana
datangnya godaan yang membuat saya ingin mencoba satu hal ini: Seleksi PCPM XXV
Bank Indonesia Tahun 2012. Yup! Meski saya sudah berstatus PNS, bukan berarti
tidak boleh mencobanya kan? Memang banyak bukti orang-orang yang keluar dari
tempat kerjanya yang boleh dibilang sudah mapan, demi mendapat tempat yang
diidamkan oleh banyak orang itu.
Awalnya saya
mengikuti seleksi ini karena iseng. Hehe. Adik saya memilih Jakarta untuk
mengikuti seleksi ini dengan pertimbangan ada saya yang bisa membantu selama
ikut seleksi di Jakarta. Terpikir oleh saya, kenapa saya tidak sekalian ikut
mencobanya? Toh juga nanti saya akan mengantar dan menjemput adik saya untuk
mengikuti seleksi. Hasrat lain lebih karena penasaran. Tahun 2009 saya pernah
mencoba ikut seleksi ini, tetapi hanya pada tahap pertama saja. Di samping itu,
PNS tidak boleh mengikuti seleksi CPNS. Jadi, ini adalah salah satu jalur
pelarian saya. Hehe.
Formasi yang
dibutuhkan waktu itu belum diumumkan. Hanya saja saya menemukan angin segar
ketika saya melihat ada formasi untuk S1 jurusan Matematika. Tahapan tes
terdiri dari 8 tahap termasuk tes online. Memang banyak. Tapi karena saya
menjalaninya tanpa beban, satu persatu saya lalui tanpa terasa. Berikut ini
tahapan seleksi yang saya ikuti setelah pendaftaran secara online:
Tahap
|
Jenis Tes
|
Jadwal Saya
|
Tempat
|
1
|
Tes kemampuan
umum, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus
|
Awal Februari
|
Gedung Bina
Manajemen PPM Menteng, Jakarta Pusat
|
2
|
Tes bahasa
Inggris (pendahuluan) dan tes psikologi tertulis
|
Minggu, 26
Februari 2012
|
|
3
|
Diskusi kelompok
dan wawancara individual
|
Selasa, 20 Maret
2012
|
|
4
|
Tes TOEFL
|
Sabtu, 7 April
2012
|
|
5
|
Tes Pskiatri
|
Sabtu, 21 April
2012
|
SD Yasporbi,
Jakarta Selatan
|
6
|
Tes Kesehatan
|
Selasa, 8 Mei
2012
|
Bidakara Medical
Center, Jakarta Selatan
|
7
|
Jumat, 20 Juli
2012
|
Gedung Tipikal
Lt.12, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta
|
Dari tahap satu ke tahap berikutnya,
biasanya peserta akan diberitahu lewat sms untuk mengecek pengumuman yang sudah
tersedia di website. Ada peserta yang tidak mendapatkan sms. Jadi sebaiknya
rajin-rajinlah mengecek website.
Selama mengikuti tes, saya mengikuti forum
di Kaskus untuk mencari informasi utama seputar tes ini. Ini sangat berguna
karena kita sulit menemukan teman di kota lain yang sudah mengikuti tes. Lin
forum kaskus untuk PCM XXV ada di sini.
Jika kita sudah memiliki sertifikat ITP
TOEFL dengan skor di atas 500, maka kita bisa melewati tahap 4. Langsung
meluncur ke tahap 5. Jadi, jika masih ada waktu, cepat-cepat ikut ITP TOEFL.
Itung-itung buat latihan.
Mengikuti tujuh kali tes itu tentu sangat
melelahkan karena menyita waktu dan energi saya. Tapi memang itulah tahap yang
harus dilalui untuk sampai ke pertempuran terakhir lewat wawancara. Yang tidak
kalah penting, persiapkan diri sebelum mengikuti tes. Setelah siap, jangan
merasa minder karena itu akan merusak mood kita waktu tes. Setelah selesai
menjalani tes, pasrahkan semua pada Allah. Dia yang akan memilihkan yang
terbaik untuk kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)