Sunday, April 1, 2012

Setitik Keajaiban


#SATU#

Long weekend kemarin saya tidak pulang kampung, kehabisan tiket kereta. Jadi saya putuskan untuk menghabiskan liburan di rumah sepupu di kawasan Slipi. Kebetulan sekali hari jumat keponakan saya akan merayakan ulang tahunnya, perayaan sederhana tanpa mengundang teman-teman playgroup-nya. Sore itu saya berencana pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Berbekal hasil browsing “mainan edukatif” tadi siang di kantor, saya mencari kado untuk keponakan saya.

Mampir ke pusat perbelanjaan setelah jam kantor tentu saja membuat saya pulang telat. Tapi saya tidak terlalu memikirkannya. Yang jelas saya ingin membawa sesuatu yang, kalo bisa, disebut sebagai kado ulang tahun. Saya segera pulang setelah mendapatkan mainan yang saya cari.

Sesampai di kos, seperti biasa, saya memulai percakapan rutin setiap pulang kantor dengan mba Yeti (pembantu di kos) tentang menu masakan sore ini. Saya dan satu teman lainnya memang memintanya memasak makan malam untuk kami. Sekitar setengah jam kemudian, teman saya pulang. Dia keheranan kenapa saya tiba lebih awal. Katanya, di jalur saya pulang ada demo. Saya tentu saya kaget. Sore itu tidak lewat jalur biasa saya pulang karena mampir membeli kado untuk keponakan.

#DUA#

Dulu sewaktu masih kuliah, saya pulang ke rumah dua minggu sekali. Jarak rumah saya dengan kampus sekitar 55 km. Saya pulang naik bis, tentu saja busuuu ekonomi, maklum masa-masa kuliah adalah masa di mana harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Saya tiga bersudara dengan selisih usia 2 tahun, sehingga pada waktu yang bersamaan, orang tua harus membiayai kuliah dua orang di antara kami (kakak dan saya, kemudian saya dan adik). Tarif bus ekonomi saat itu Rp. 7.000 sedangkan tarif bus patas AC Rp. 25.000.

Karena seringnya pulang, saya hafal bus mana yang nyaman dan yang tidak. Saya pulang hari sabtu setelah kuliah pagi selesai dan kembali ke kampus hari senin pagi sebelum kuliah dimulai.
Hari senin saya kembali ke kampus. Pukul 7.30 pagi ada bus yang nyaman, masih baru, namanya bus Baker. Kondektur sepertinya hafal karena saking seringnya saya naik bus itu, hehe..

Singkatnya, sepanjang perjalanan kondektur lupa tidak meminta ongkos saya. Saya berusaha memberikannya setiap kali dia melewati tempat duduk saya, tetapi selalu saja tidak berhasil. Sampai di terminal terakhir tempat tujuan saya, saya masih berusaha memberikan ongkos. Namun tidak berhasil juga, karena sesampainya di terminal, kondektur langsung turun mencari tempat sarapan. Sedangkan si supir langsung digantikan oleh tukang parkir (orang yang menawarkan jasa memarkir bus, memanaskan mesin, sampai keluar terminal lagi setelah penuh penumpang).

Mahasiswa mana yang tidak senang jika bisa naik bus gratis. Tapi orang tua saya selalu mengajarkan, ketika ada kewajiban yang tidak kita lakukan, pasti ada balasannya. Bisa jadi saya untung Rp. 7.000 pada hari itu, tapi siapa tahu nantinya saya akan kehilangan lebih banyak dari itu. Nilai itu tertanam kuat dalam pikiran saya. Hingga saya berkeinginan untuk membayar ongkos (yang kalo tidak bisa disebut gratisan) terhutang itu, hehe..

Dua minggu kemudian saya pulang ke rumah. Hari sabtu pagi saya sengaja pulang naik bis Baker. Hari itu saya berencana membayar dobel, ditambah ongkos terhutang saya dua minggu lalu. Bus masih terparkir di tempatnya. Saya naik bus itu sembari mencari kondektur yang kemarin lupa menagih ongkos. Lama saya tidak melihatnya. Biasanya dalam satu bus ada dua orang kru. Satu orang bertindak sebagai kondektur, satu orang lagi sebagai co-supir. Meski sudah ada spion, bus ini memang unik. Co-supir ini duduk di dekat pintu depan sebelah kiri, sejajar dengan supir, sembari membantu supir melihat keadaan lalu lintas yang memungkinkan untuk menyalip. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu satu setengah jam, bisa ditempuh bus ini dalam waktu satu jam saja (kaya lagunya Audy, hehe).

Saya memberanikan diri untuk bertanya pada kru supir.
“Pak, kemarin saya belum bayar lho..”
“Bayar apa mba?”
“Kemarin itu dari Gombong saya kelewat ga ditarik..”
“Oh..itu ga usah mba..”
“Tapi kan saya belum bayar pak..”
“Ga usah, hari ini kondekturnya beda kok..udah ga usah..”
“Wah beneran nih pak? Gak papa?”
“Udah gak papa, udah diitung kemarin..udah disetor kok..”

Sebenarnya saya sedikit ragu juga karena jawaban itu bukan dari kondektur yang bertugas dua minggu lalu. Tapi kalau boleh saya asumsikan, anggaplah jawaban itu mewakili perusahaan bus. Wallahu a’lam.

Di sebelah saya duduk seorang cowok yang usianya beberapa tahun di atas saya. Dia sudah bekerja. Saya tahu karena cukup lama kami mengobrol. Beberapa saat kemudian kondektur berkeliling menarik ongkos. Benar kata kru itu, kondekturnya berbeda. Ketika kondektur itu sampai di dekat kursi kami, yang pertama kali diminta ongkos bus adalah cowok di dekat saya (saya duduk di dekat jendela). Saya terkejut karena cowok itu membayar ongkos bus untuk saya. Saya tentu saja tidak bisa menolak karena kondektur sudah menerima uang dari cowok itu. Jadilah saya naik bus dua kali gratis, hehe..

#HIKMAH#

Beberapa waktu lalu saat mengunjungi Islamic Book Fair 2012 di Senayan, saya membeli buku “Kun Fayakuun” yang ditulis Yusuf Mansyur. Ceritanya lagi demam Yusuf Mansyur, hehe… Berawal dari pengajian radio yang memutar ceramahnya, saya terpikir untuk mencari bukunya.


Sebenarnya ibadah itu ga cuma buat urusan akhirat. Ibadah juga bisa mempermudah kehidupan kita di dunia.Orang yang berusaha melalui jalan dunia memang akan berhasil karena itu sunatullah. Siapa yang belajar akan pandai. Siapa yang rajin bekerja akan sukses. Tapi dengan jalan ibadah, keinginan dunia akan lebih cepat tercapai. Ibaratnya seperti percepatan yang akan menyalip mereka yang hanya berusaha dengan jalan dunia. Setiap kali ada masalah, perbaiki shalat dan perbanyak sedekah. Di buku itu diceritakan kisah nyata orang-orang yang mendapat keajaiban setelah memperbaiki shalat dan memperbanyak sedekah.

Kata ustadz Yusuf di buku itu, kalo kita punya cerita serupa yang menggambarkan keajaiban-Nya karena ibadah dan sedekah, jangan sungkan untuk menceritakannya, karena itu bisa menginspirasi orang lain untuk percaya dan melakukan hal yang sama.

Cerita yang saya punya mungkin masih kalah hebat dibandingkan testimoni di buku Kun Fayakun. Tapi saya harap dapat memberikan sedikit inspirasi bagi teman-teman. Karena saya berniat membelikan kado ulang tahun, maka saya tidak lewat jalur pulang yang biasanya. Sehingga saya tidak terkena macet akibat demo. Bagi saya, itu imbalan dari Allah. Niat membelikan kado untuk keponakan itu biasa saja bukan? Apalagi jika kita berbuat baik untuk orang yang membutuhkan? tentu imbalan yang diberikan Allah akan lebih besar. Sampai sekarang, ibu saya masih sering menceritakan kejadian saya di bus itu pada murid-muridnya ketika memberikan contoh berbuat baik. Niat baik saja akan dibalas, apalagi berbuat baik?

No comments:

Post a Comment