Seperti biasa, hari ini saya berangkat ke kantor naik Kopaja. Tak
ada yang istimewa pada perjalanan saya kali ini. Seperti biasa, Kopaja melaju
kencang kecuali saat macet karena terburu-buru mengejar penumpang atau karena
ada Kopaja lain yang membuntuti di belakangnya. Strategi mengejar setoran,
pikir saya.
Belum sampai sejenak saya berpikir demikian, tiba-tiba naik seorang
remaja laki-laki berkulit gelap. Dia berseragam SMA, tapi tanpa mengenakan bed
identitas sekolah. Membawa tas selempang hitam yang sudah lusuh, entah apakah
di dalamnya ada buku atau perlengkapan sekolah lainnya. Dia memakai sepatu
hitam, bertali, tanpa memakai kaos kaki. Meski demikian, penampilannya termasuk
kurang rapi untuk disebut sebagai anak sekolah.
Tanpa menunggu lama, dia membagikan amplop kepada penumpang. Amplop
itu bertuliskan pesan seperti ini:
“Assalamualaikum Wr. Wb.
Mohon maaf kepada Bapak Ibu, Kakak
Kami sebagian dari anak bangsa yang kurang mampu membutuhkan uluran
tangan sertabantuan untuk biaya sekolah dari Bapak/Ibu/Kakak, dan atas
bantuannya kami hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT akan membalas budi Bapak
/Ibu/Kakak amin ya robbal alamin. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasihatas
kerelaan dan keikhlasan Bapak/Ibu/Kakak.
Andri - SMK”
Di sisi belakang amplop itu, terdapat stempel “SMK Boedoet 1 –
Jakarta Pusat”
Sembari membagikan amplop, si Andri berkata:
“Ya permisi Bapak/Ibu/Kakak, minta bantuannya untuk biaya sekolah ya
Bapak/Ibu/Kakak, besok sudah tanggal satu ya, buat bayar sekolah, sekolah mahal
Bu.”
Dia berkata sedikit kasar, menurut saya. Kontras sekali dengan
tulisan di amplop itu yang terkesan penuh sopan santun. Setelah selesai
membagkan amplop itu, dia mengeluarkan seruling modern. Dia meniupnya,
memainkan lagu entah apa. Meski saya suka mendengarkan musik, saya tidak bisa
memahami lagu apa yang dia mainkan. Selesai “bertugas”, dia menarik kembali
amplop-amplop itu sembari berkata seperti waktu membagikannya.
Saya tentu saja kebagian amplop itu. Saya bahkan sudah tidak asing
dengan “pertunjukan” barusan. Saya sudah hafal betul dengan wajah anak itu. Sudah
sering saya melihatnya di Kopaja pagi hari dalam perjalanan ke kantor. Awalnya
saya menaruh sedikit simpati. Namun, ketika kata-katanya terdengar semakin
kasar di telinga saya, saya menjadi tidak simpati lagi.
Saya tak mengerti, apakah memang amplop itu resmi dari pihak
sekolah? Kalau memang si Andri itu siswa di SMK tersebut, apakah tidak ada cara
lain yang lebih baik? Kalau memang benar dia bersekolah, kenapa justru pada jam
sekolah dia berada di Kopaja?
Beberapa waktu lalu, menuruti rasa penasaran saya, saya coba
menelusuri nama sekolah yang saya temukan di amplop remaja itu. Saya
menemukannya di website, namun tidak berhasil menemukan kontak yang bisa
memberikan informasi.
Bukan berarti saya setuju dengan hitung-hitungan jika akan
memberikan bantuan. Akan tetapi, menurut saya, akan lebih bijak jika kita tahu
ke mana dana kita akan disalurkan. Memberi memang kewajiban, akan tetapi kita
juga punya kewajiban untuk ikut membangun masyarakat. Saya akan lebih merasa
tenang jika mengetahui penyaluran bantuan yang saya berikan, apalagi jika dapat
memberikan pengaruh jangka panjang.
Oh ya, hari ini saya berhasil mencuri gambar amplop itu.
(kemarin, di Kopaja 66)
No comments:
Post a Comment