Setelah mengalami dua kali ganti pembantu kos dan beberapa kejadianmengejutkan sebelumnya, saya menjadi lebih waspada terhadap pembantu.
Bagaimanapun dia tetap orang lain yang tidak bisa kita beri kepercayaan 100%.
Pembantu ketiga, mbak Yati, memang rajin. Pekerjaannya rapi
dan dia pintar membagi waktu. Dia juga senang memasak. Tak jarang saya
memintanya membelikan sayuran di tukang sayur keliling karena harus berangkat
ke kantor pagi hari.
Saya dan dua orang teman, bertiga, memasak bersama. Kami patungan
uang belanja. Jumlahnya tidak tentu, biasanya dua puluh ribu rupiah sekali
patungan. Jangka waktunya pun tidak tentu. Jika habis, kami patungan lagi. Pengelolaan
uang kami percayakan pada mbak Yati karena tiap pagi kami minta dibelikan
sayuran untuk dimasak pada sore harinya. Oh ya, semenjak kejadian penggeledahan
dan insiden alat listrik, kami sepakat untuk numpang memasak nasi pada mbak
Yati. Kami menyerahkan beras, mbak Yati yang memasak.
Mbak Yati rutin mencatat pengeluaran belanja tiap hari. Jika
sudah habis, dia cukup bilang kepada
salah satu dari kami bertiga, uang kami beri lagi. Begitu saja selama beberapa
minggu. Sampai suatu hari...
Desi, salah satu dari kami, kaget karena ternyata uang
belanja patungannya sudah termasuk pembelian beras. Selama ini dia memberi mbak
Yati uang sebesar dua ribu rupiah setiap kali mengambil nasi dari mbak Yati
(anggap saja membeli). Padahal sudah sangat jelas, ketika menyerahkan beras
saya berkata, ini beras untuk kami bertiga: saya, mbak Emi, dan Desi. Ditambah
lagi cerita teman-teman lain yang sangat mengetahui persis harga sayuran. Juga
tentang hitungan beras yang tidak masuk akal, terlalu cepat habis untuk porsi
makan kami yang seukuran diet (bukan diet juga sih maksudnya). Intinya, mbak
Yati tidak jujur dalam mengelola keuangan belanja kami (mark up harga dan
pemborosan beras).
Kami berunding. Mengambil sikap, memutuskan bahwa kami akan
memasak nasi sendiri (berlima). Kami juga akan membeli sayuran sendiri.
Kebetulan, Desi masuk lebih siang dan lokasi kantornya sangat dekat dengan kos.
Sejak saat itu kami tidak bisa percaya 100% pada mbak Yati. Kunci kamar selalu
terkunci, meski hanya menjemur cucian, ke kamar mandi atau ke dapur.
Muncul ide untuk sekedar menguji. Saya menaruh uang kecil di
saku baju. Dua kali saya menaruhnya, tidak ada yang kembali setelah dia cuci.
Bukan apa-apa, ide ini saya dapat dari teman-teman yang sudah berumah tangga
sebagai salah satu cara untuk mengetes ART.
Memiliki asisten rumah tangga sepertinya sebuah keharusan
bagi ibu rumah tangga yang bekerja, apalagi di kota besar. Tapi kenyataannya
kondisi sekarang tidak semudah dulu. Katanya, dulu lebih mudah , mencari ART
yang jujur dan bisa bekerja dengan baik. Sekarang ini, urusan kantor bisa jadi
nomor sekian jika sudah dilanda krisis ART. Alternatif yang mungkin adalah
memiliki ART tapi tetap ada pihak keluarga yang mengawasi, misal orang tua
kita. Ada juga pemikiran (dari teman-teman yang sudah hopeless) untuk resign
dan fokus menjadi ibu rumah tangga: mengurus anak, suami, dan rumah.
Alasan yang sepertinya cukup kuat untuk mempertahankan
pekerjaan adalah karena umur manusia (suami) tidak bisa diduga. Perempuan harus
siap ditinggal kapan pun, pesan ibu saya.