Jumat sore. Seorang OB datang mendekati cubicle saya.
“Mbak Rizka, ada surat, tolong tanda terima ya..”
“Oh ya.”
(tak sampai setengah menit kemudian)
“Eh…apa-apaan ini..aaahhh…”
Suara saya meninggi. Seisi ruangan berdiri penasaran. OB cuek sambil berkata,
“Saya cuma disuruh nganter
surat mbak, protesnya jangan sama saya..”
Surat itu berisi penunjukan untuk menjadi petugas upacara pada 17
Agustus 2012 nanti. Saya tak sendiri, pasti. Tak lama kemudian, teman saya yang
di ujung sana bereaksi sama. Teman saya di ujung sana berteriak tak kalah
hebohnya.
****
Sebenernya saya nggak
masalah disuruh jadi petugas upacara. Lantas apa masalahnya? Masalahnya
yaitu…17 Agustus 2012 nanti adalah hari ke-28 di bulan puasa. Saya tentu sudah
memimpikan pada tanggal itu saya berada di rumah. Hari terakhir masuk kerja
sesuai SK menteri adalah tanggal 16 Agustus. Saya sudah pasti akan langsung
pulang sore harinya, tanpa menunggu apapun. Perjalanan dari Jakarta menuju
rumah saya ditempuh delapan jam dengan kereta pada hari biasa. Tapii..untuk
kasus mudik lebaran, pasti akan ada penambahan waktu tempuh, meskipun masih
jauh lebih parah perjalanan menggunakan mobil. Dan, itulah alasan besar kenapa
saya mati-matian mencari tiket kereta api untuk mudik lebaran dibandingkan
memakai bus. (Lebay yah, hehehe)
****
Beberapa teman yang tidak pernah memesan tiket kereta,
terheran-heran mendengar cerita saya ini. Saya juga tertegun heran ketika
seorang teman curhat, ingin merantau
ke Jakarta. Dia pasti belum tahu cerita ini.
Jadilah saya pengin cerita,
gimana susahnya mau mudik lebaran dari Jakarta.
Tiket kereta api biasanya bisa dipesan melalui telepon call center KAI. Awalnya, tiket bisa
dipesan tiga puluh hari sebelum keberangkatan. Kemudian ada perubahan, dari
empat puluh hari, sekarang menjadi sembilan puluh hari. Yap. Sembilan puluh hari artinya tiga bulan sebelum kita akan
berangkat. Selama rentang waktu antara pembukaan penjualan tiket sampai hari
keberangkatan, bukan berarti tiket dijamin ada. Ketika terlambat sehari saja,
bisa kehabisan tiket, apalagi saat long
weekend.
Sembilan puluh hari sebelum mudik artinya kira-kira dua bulan
sebelum bulan puasa. Saat orang-orang bahkan belum terpikir tentang bulan
ramadhan, saya (dan perantau lainnya) sudah pasang ancang-ancang untuk mencari
tiket mudik. What a great deal!!
Jadi, tahun 2011 kemarin, empat puluh hari sebelum hari mudik
lebaran, saya dan dua orang teman mengantri di stasiun Gambir. Kenapa mesti ngantri? Karena berdasarkan pengalaman,
saat pemesanan tiket lebaran, call center
KAI tidak merespon telpon kita.
Kami berangkat pagi-pagi buta. Selepas adzan Shubuh, kami meluncur
ke Stasiun Gambir. Sesampai di sana, antrian massa sudah mengular, mirip
seperti pengungsian, beneran..
orang-orang memenuhi ruangan kosong di depan loket penjualan. Waktu itu pukul
setengah lima pagi. Padahal, penjualan tiket baru akan dibuka pukul tujuh pagi.
What a big sacrifice. Bahkan, kata
satpam stasiun, ada yang menginap di sana kemarin malam sejak selepas Maghrib.
Kami berangkat bertiga. Berbekal uang yang banyak, formulir
pemesanan, kertas koran, dan makanan. Harga tiket jelas melambung. Meski harga
naik, orang-orang (termasuk saya) tetap masih berminat membelinya, demi pulang
kampung, hehe. Formulir pemesanan harus disiapkan untuk menghindari kesalahpahaman
jadwal dan nama kereta yang akan dipesan, juga untuk mempercepat pengecekan
tiket. Kami bertiga telah berunding beberapa hari sebelumnya, mencari nama
kereta apa saja yang bisa menjadi alternatif pulang kampung, menuliskannya pada
formulir pemesanan, juga menuliskan urutan nomor prioritasnya. Kami bertiga
berpencar, tidak berbaris dalam satu antrian. Setiap seorang dari kami memesan
tiket untuk tiga kursi. Ini strategi untuk memperbesar peluang cepat sampai ke
depan loket.
Sembari menunggu loket buka, kami duduk beralaskan Koran,
menghabiskan waktu: update status di FB, smsan, mendengarkan musik, atau apapun
itu. Sesekali satpam meminta kami berdiri. Awalnya saya sudah GR mengira loket
akan segera dibuka, ternyata satpam hanya ingin menertibkan jalur antrian.
Hiks..
Akhirnya pukul tujuh kurang lima menit. Satpam meminta kami berdiri.
Petugas bersiap-siap di dalam. Petugas berbicara melalui speaker memberitahukan
tiket tanggal berapa yang dijual hari ini dan juga memberitahukan bahwa loket
sebentar lagi akan dibuka. Deg-degan,
beneran deh.. HP siaga untuk berkirim kabar secepatnya, siapa yang sudah
sampai di depan, siapa yang sudah dapat tiket duluan.
Sudah lima menit berlalu dari pukul tujuh. Tapi barisan terasa
lambat sekali berjalan, seolah-olah tidak ada perubahan. Saya mendapat antrian
paling kiri. Di ujung depan barisan, di dekat loket, berdiri seorang satpam.
Tak lama kemudian, diumumkan begini: “Kereta Sembrani telah terjual habis..”.
Orang-orang langsung berteriak “Huuuu…”, khas Indonesia deh, hehe.. Pengumuman
serupa terdengar hampir setiap lima sampai sepuluh menit. Membuat merinding,
satu kereta lima menit. Setiap kali saya mendengarnya, langsung mengecek
tumpukan formulir saya, membuangnya, dan saling mengirim sms dengan
teman-teman, sembari berdoa semoga keberuntungan berpihak pada kami, berharap
masih ada formulir yang tidak perlu saya buang sampai saya berada di depan
loket. Mendadak barisan saya berjalan cepat. Kenapa? Karena perlahan-lahan
beberapa orang mundur. Semua jenis kereta yang tiketnya mereka cari sudah
habis.
Tak terasa, saya sampai di barisan nomor dua. Beberapa
lembar formulir pemesanan masih tersisa. Artinya masih ada alternatif kereta
yang bisa saya tumpangi. Di depan saya seorang ibu setengah baya terlihat
bingung. Tiket yang dia cari telah habis. Petugas loket memberinya alternatif
kereta pagi. Ibu itu memanggil suaminya yang berdiri menunggu sekitar lima
meter dari loket. Wah, lama, pikir saya.
Orang-orang di belakang saya berteriak kecil, “Minggir dulu Bu kalo masih mikir, keburu habis nanti.” Betapa
kecemasan individu Jakarta telah memaksa mereka untuk bersikap apatis. Satpam
di samping saya menyuruh ibu itu dan suaminya minggir karena belum juga
memutuskan jadi membeli tiket atau tidak. Tibalah saya di depan loket,
menyerahkan formulir pemesanan. Gemetar, semua kemungkinan bisa terjadi. Bisa saja
tepat pada saat saya di antrian terdepan, tiket yang saya cari habis. Otak saya
menghitung dengan cepatnya ketika petugas menyebutkan harga tiket per orang. Saya
mengambil uang secukupnya menyerahkannya kepada petugas, masih dengan gemetar. Semua
kecemasan terhenti sudah ketika tiket sampai di tangan saya.
Buru-buru saya keluar dari lautan orang-orang itu.
Gemetar saya mengetik sms memberitahu teman saya bahwa saya sudah berhasil
mendapatkan tiket. Kami bertiga berkumpul. Alhamdulillah, sesuatu banget hari itu.