Saya tidak tahu pasti dari mana asal mula
tradisi seserahan. Yang sering saya jumpai, dalam acara seserahan itu intinya
keluarga CPP (calon pengantin pria) menyerahkan CPP untuk dinikahkan sesuai
syariat. Nah, dalam acara itu CPP juga membawa serta barang-barang yang biasa
disebut seserahan. Seserahan ini berupa barang semacam hadiah untuk Calon
Pengantin Wanita (CPW). Isinya? Katanya prinsipnya semua yang biasa dipakai
wanita atau yang melekat pada tubuh wanita.
Sebenarnya tidak ada aturan baku mengenai
seserahan ini sih. Jika saya boleh memilih, tidak perlu terlalu banyak barang
yang dibawa pada saat seserahan nanti. Kenapa? Bisa dibayangkan, saya dan mas
cami kerja di Jakarta. Sedangkan seluruh acara dilaksanakan di Gombong. Kami berdua
bersikeras mencari sendiri barang seserahan di Jakarta supaya sesuai selera
saya dan sesuai kantong mas cami (baca: dompet hahaha) Kemudian, barang-barang
seserahan itu kami bawa ke Gombong untuk dibungkus dan diserahkan pada saat
acara seserahan. Nah, setelah acara selesai… kami membawanya ke Jakarta lagi.
Hihi… sempat berpikir iseng, jika ada yang mau menyewakan barang untuk acara
seserahan, tentu saya mau. Mau banget..
Untuk urusan barang seserahan saya tidak
terlalu ambil pusing. Praktisnya, cari saja merk atau jenis barang yang biasa
dipakai, terutama untuk tas, sepatu, dan baju karena faktor kenyamanan sangat
penting. Jangan terlalu tergiur dengan label “seserahan” sehingga kita memilih
barang mahal atau merk terkenal tetapi pada akhirnya tidak nyaman untuk dipakai
karena tidak biasa. Sayang juga kan kalau barang seserahan yang sudah dibeli
tidak bisa bermanfaat maksimal.
Saya juga mempertimbangkan jenis barang
yang akan dimasukkan ke dalam seserahan. Ketika mas cami mengajukan item baju
kerja, saya tidak punya bayangan mau beli di mana. Jujur saja, saya tidak biasa
beli baju kerja dengan merk tertentu. Beda dengan tas dan sepatu, saya punya
merk favorit yang saya pakai, itu pun bukan grade tertinggi ataupun harga
termahal.
Nah ketika itu saya punya ide untuk membeli
kain batik saja. Yes, I’m a batik lover. Dan, usul saya, beli sepasang saja
supaya nanti bisa untuk membuat baju sarimbit (Ciyeee) karena kami belum punya
baju couple (ceileehh). Mas cami langsung setuju dan mau sekalian dijahitkan
saja. Kami berpikir untuk acara di rumah mas cami nanti mungkin perlu baju
sarimbit karena acaranya tidak terlalu formal, hanya syukuran keluarga.
Dan agenda berikutnya adalah hunting kain batik
di Thamrim City. Hasilnya, kami dapat kain batik tulis kombinasi motif khas
Cirebon warna hijau toska. Harga? Rp. 100.000 saja per potong. Nahh kalo baju
buat mas cami sih udah cukup dengan sepotong kain seukuran 2 m lebar 1.1 m.
Kalo untuk saya? Perlu kain tambahan dan mencari model ini itu hihihi…
Meluncur ke pasar Mayestik, saya dapat kain
brokat (2 m x 1.15 m) dan kain katun hijau toska (2 m x 1.15 m) yang senada
untuk kombinasinya.
Modelnya? Saya membayangkan membuat dress
panjang tanpa lengan dari kain batik. Trus, luarannya berupa kebaya lace off
white dengan model belakang oval dilapis katun polos hijau toska. Kira-kira
seperti ini:
Setelah dianter ke penjahit, idenya
berubah. Outernya bukan berupa kebaya karena kesannya tua (ini komentar
penjahitnya hehe). Sebagai gantinya, saya disodori model blazer kerah V, dengan
rimpel di bawahnya. Katun hijau polos untuk melapisi tangan dan badan kecuali
rimpel.
Hari ini, baju saya sudah jadi. Dan ini dia
fotonya:
Cantik bukan? Batik dan lace yang mewakili
unsur tradisional dikombinasikan dengan model blazer rimpel di bagian bawahnya
yang sekilas mirip Korean style hihihi
trim's artikelnya sangat membantu sekali, kompor gas !!!
ReplyDelete