Saturday, August 17, 2013

Ke Jakarta Aku Kan Kembali



Sejak saya menginjakkan kaki di Stasiun Tulungagung, saya merasakan ketenangan. Ketenangan yang tidak ditemukan di Jakarta. Stasiunnya kecil, hanya memiliki satu sisi untukmenunggu kereta, tapi terhitung stasiun besar karena kereta eksekutif Gajayana yang saya naiki berhenti di sini. Saya duduk di kursi tunggu penumpang, menunggu rekan satu kantor yang sedang menjemput saya. Awalnya ada seorang perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dari saya sebelum saya menjadi satu-satunya yang duduk di sana selain petugas stasiun. Tak lama kemudian, seorang petugas menyapa saya,

"Nunggu jemputan, mbak?"
"Iya."
"Yang jemput sudah dihubungi?"
"Sudah."

Saya merasakan keramahan yang hampir tidak mungkin ditemui di Jakarta. Kebiasaan "sekedar menyapa" mungkin sudah benar-benar luntur di ibu kota karena bersikap terlalu ramah atau terlalu banyak bicara di tempat umum justru membuat seseorang dicurigai.

Tugas saya kali ini memberi saya kesempatan untuk mengunjungi kawasan industri marmer di Tulungagung. Tulungagung adalah kota penghasil marmer terbesar di Indonesia. Perusahaan yang saya kunjungi adalah salah salah satu perusahaan terbaik. Produk utamanya berupa wash basin atau cekungan untuk wastafel. Wash basin dari marmer banyak diguakan untuk perkantoran, hotel, apartemen, dan bangunan mewah lainnya. Sebanyak 90% produknya sudah diekspor ke berbagai negara seperti Cina, Abu Dhabi, Amerika, Dubai, dan Perancis. Saya dan rekan juga sempat mengunjungi workshopnya. Ada rasa bangga yang muncul setiap kali mendengar karya bangsa ini diakui di negara lain meski juga merasakan miris  karena kekayaan marmer Indonesia justru banyak digunakan oleh negara lain.

Washbasin dari marmer



Perapian pesanan dari Timur Tengah


Satu hal yang sering saya alami ketika kembali dari dinas panjang di luar kota adalah rasa kaget setibanya di Jakarta. Lancarnya lalu lintas, harga makanan yang murah, dan pemandangan hijau pohon dan sawah adalah hal yang tidak bisa ditemui di Jakarta. Seketika saya jadi jatuh cinta pada kota tempat saya bertugas selama beberapa hari, di mana pun itu: Banjarmasin, Surabaya, Semarang, Medan, Yogyakarta, dan sekarang Tulungagung.

Perjalanan kembali ke Jakarta sedikit melelahkan. Saya harus menempuh perjalanan 4 jam menuju Surabaya untuk naik pesawat dari bandara Juanda karena kehabisan tiket pesawat dari Malang, kota yang hanya berjarak sekitar150 km dari Tulungagung. Agar lebih mudah dan aman, saya menggunakan travel menuju bandara Juanda. Saya berangkat pukul lima pagi untuk menghindari kemacetan di sekitar Sidoarjo. Sebelum masuk tol menuju bandara Juanda, penumpang dengan tujuan bandara dipindahkan ke mobil lain. Saya turun dengan tenang karena melihat mobil yang akan kami naiki masih kosong tanpa penumpang. Tapi saya terkejut ketika akan masuk mobil, ternyata kursi penumpang kurang satu. Saya harus duduk bersama seorang penumpang di kursi belakang di samping barang bawaan para penumpang. Seketika muncul rasa rindu saya pada Jakarta. Terpikir oleh saya, hal seperti ini tentu tidak akan terjadi di Jakarta. Persaingan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen jelas lebih tinggi di sana. Hal ini membuat konsumen diuntungkan karena mendapatkan pelayanan terbaik dengan harga yang kompetitif.

Saya mungkin mudah jatuh cinta pada tempat baru, tapi Jakarta tetap membuat saya ingin kembali ke sana.

Juanda, 17 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment