Sejak saya menginjakkan kaki di Stasiun Tulungagung, saya merasakan
ketenangan. Ketenangan yang tidak ditemukan di Jakarta. Stasiunnya kecil, hanya
memiliki satu sisi untukmenunggu kereta, tapi terhitung stasiun besar karena
kereta eksekutif Gajayana yang saya naiki berhenti di sini. Saya duduk di kursi
tunggu penumpang, menunggu rekan satu kantor yang sedang menjemput saya.
Awalnya ada seorang perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dari saya sebelum
saya menjadi satu-satunya yang duduk di sana selain petugas stasiun. Tak lama kemudian, seorang petugas menyapa saya,
"Nunggu jemputan, mbak?"
"Iya."
"Yang jemput sudah dihubungi?"
"Sudah."
Saya merasakan keramahan yang hampir tidak mungkin ditemui di
Jakarta. Kebiasaan "sekedar menyapa" mungkin sudah benar-benar luntur
di ibu kota karena bersikap terlalu ramah atau terlalu banyak bicara di tempat
umum justru membuat seseorang dicurigai.
Tugas saya kali ini memberi saya kesempatan untuk mengunjungi
kawasan industri marmer di Tulungagung. Tulungagung adalah kota penghasil
marmer terbesar di Indonesia. Perusahaan yang saya kunjungi adalah salah salah
satu perusahaan terbaik. Produk utamanya berupa wash basin atau cekungan untuk
wastafel. Wash basin dari marmer banyak diguakan untuk perkantoran, hotel,
apartemen, dan bangunan mewah lainnya. Sebanyak 90% produknya sudah diekspor ke
berbagai negara seperti Cina, Abu Dhabi, Amerika, Dubai, dan Perancis. Saya dan
rekan juga sempat mengunjungi workshopnya. Ada rasa bangga yang muncul setiap
kali mendengar karya bangsa ini diakui di negara lain meski juga merasakan
miris karena kekayaan marmer Indonesia
justru banyak digunakan oleh negara lain.
Washbasin dari marmer |
Perapian pesanan dari Timur Tengah |
Satu hal yang sering saya alami ketika kembali dari dinas panjang di
luar kota adalah rasa kaget setibanya di Jakarta. Lancarnya lalu lintas, harga
makanan yang murah, dan pemandangan hijau pohon dan sawah adalah hal yang tidak
bisa ditemui di Jakarta. Seketika saya jadi jatuh cinta pada kota tempat saya
bertugas selama beberapa hari, di mana pun itu: Banjarmasin, Surabaya, Semarang,
Medan, Yogyakarta, dan sekarang Tulungagung.
Perjalanan kembali ke Jakarta sedikit melelahkan. Saya harus
menempuh perjalanan 4 jam menuju Surabaya untuk naik pesawat dari bandara
Juanda karena kehabisan tiket pesawat dari Malang, kota yang hanya berjarak
sekitar150 km dari Tulungagung. Agar lebih mudah dan aman, saya menggunakan
travel menuju bandara Juanda. Saya berangkat pukul lima pagi untuk menghindari
kemacetan di sekitar Sidoarjo. Sebelum masuk tol menuju bandara Juanda,
penumpang dengan tujuan bandara dipindahkan ke mobil lain. Saya turun dengan
tenang karena melihat mobil yang akan kami naiki masih kosong tanpa penumpang.
Tapi saya terkejut ketika akan masuk mobil, ternyata kursi penumpang kurang
satu. Saya harus duduk bersama seorang penumpang di kursi belakang di samping
barang bawaan para penumpang. Seketika muncul rasa rindu saya pada Jakarta.
Terpikir oleh saya, hal seperti ini tentu tidak akan terjadi di Jakarta. Persaingan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen jelas lebih tinggi di sana. Hal ini membuat konsumen diuntungkan karena mendapatkan pelayanan terbaik dengan harga yang kompetitif.
Saya mungkin mudah jatuh cinta pada tempat baru, tapi Jakarta tetap
membuat saya ingin kembali ke sana.
Juanda, 17 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment