Dua hari kemarin saya pergi ke
Jogjakarta. Bukan untuk liburan, tetapi pekerjaan. Yup, selain karena pekerjaan, saya jarang sekali
bepergian untuk jalan-jalan. Kalau kata teman saya sih, istilahnya DIPA tracker..
DIPA itu singkatan dari Daftar Isian Perencanaan Anggaran (anggaran
pemerintah). Jadi, saya hanya bepergian ketika ada tugas negara. Kali ini saya bukan DIPA tracker, hehe.. Sebab tugas kali ini
didanai oleh Organization of Islamic Cooperation (OIC).
Jadi ceritanya, OIC ini ingin
membuat buku tentang gambaran iptek dan inovasi di negara-negara Islam. Nah,
Indonesia adalah salah satu targetnya. Meskipun Indonesia bukan negara Islam,
tetapi penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam.
OIC menggunakan jasa konsultan,
yaitu Royal Society, yang berkedudukan di Inggris. Royal Society ini mengutus
satu stafnya ke Indonesia (dan juga ke negara-negara lainnya) untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Staf Royal Society yang bertugas di Indonesia adalah
Ms. Priya Shetty. Pertama kali
saya melihatnya melalui Skype untuk diskusi pre-project
(dia di London). Saya bertatap muka secara langsung dengan Priya pertama kali
di Jakarta pada saat dia datang ke kantor saya untuk menjelaskan kontrak
pekerjaan. Dan bisa ditebak, saat dia datang saya tidak banyak berbicara
dengannya karena ada banyak senior di kantor saya yang lebih fasih berbicara
bahasa Inggris.
Project ini mengharuskan kami merancang Focus Grup Discussion (FGD) maupun jadwal wawancara dengan
orang-orang yang diinginkan Priya. Dia sudah memiliki kategori pakar, antara
lain: lembaga litbang pemerintah, universitas negeri dan swasta, lembaga
litbang nonpemerintah, perusahaan swasta, peneliti, akademisi, pengusaha, innovator, politisi, bahkan parlemen
(DPR). Tentu saja topik yang dibahas adalah seputar iptek dan inovasi.
Ada beberapa lokasi tempat dilaksanakannya kegiatan ini. Saya dan
beberapa rekan kebagian menemani Priya di Yogyakarta. Sebelumnya ada tawaran
meyertai Priya ke Bali selama tiga hari, tetapi karena ada tugas lain yang
bersamaan waktunya, saya tidak bisa menerimanya (sayang banget..padahal saya belum pernah ke Bali, hiks). Saya menerima tawaran ke Yogyakarta karena bisa sekalian
pulang kampung. Dari Jakarta saya pulang dulu ke rumah, mudik selama tiga hari,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta untuk bertugas. Lumayan lah,
hehe..
Kegiatan FGD di Yogyakarta dilaksanakan di Fakultas Teknik UGM dan di
Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta. Topik diskusi di UGM terfokus pada
keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan penelitian, kemudahan melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta isu BHMN yang masih belum jelas
(bahkan bagi UGM sendiri). Sedangkan diskusi di UPN terfokus pada topik tentang
kolaborasi kegiatan penelitian dan kendala kegiatan penelitian di UPN Veteran
sebagai perguruan tinggi swasta.
Setelah dua diskusi ini, kami sempat membawa Priya jalan-jalan ke Candi
Prambanan. Kami menceritakan legenda Candi Prambanan sebisanya, dan seingatnya.
“There was a man who wants to propose a
woman. Her name was Roro Jonggrang. But she didn’t want to marry him. So, she
asked the man to make a thousand temples only in one night. The man asked the devil to help him. She was afraid of this.
So, the woman made the situation as if the morning came. The man were very
angry and made her a temple, named Roro Jonggrang Temple.” Wahh..gak tau ini bener apa nggak, ceritanya dan juga cara nyeritainnya, hehe..
Sesampainya di objek wisata Candi Prambanan, kami melihat banyak sekali
pengunjung. “This month is holiday period
for students in Indonesia,” saya jelaskan begitu. Saya, jujur saja, belum
pernah ke Candi Prambanan. So lucky,
akhirnya bisa sampai sini tanpa sengaja. Pintu masuk untuk wisatawan asing
dipisahkan dari wisatawan lokal. Harga tiket masuk untuk wisatawan asing juga
lebih mahal (USD 13) dibandingkan dengan wisatawan lokal (Rp 30.000).
Memasuki komplek Candi Prambanan, ada beberapa candi yang berantakan dan
tanahnya tampak berdebu. Saya bilang ke Priya, “The dust are from Merapi eruption. The temple are still being
reconstructed because of the earthquake.” Padahal saya juga gak tahu pasti, tapi daripada tidak ada
bahan obrolan, hehe..
Sayang sekali kami ketinggalan jadwal untuk masuk ke candi Ratu Boko,
yang kata supir kami sangat indah dilihat pada sore hari saat matahari
terbenam. Candi utama Roro Jonggrang juga tidak bisa dimasuki. Meski begitu,
kami masih bisa masuk ke salah satu candi dan sempat berfoto di dalamnya.
Di sela perjalanan pulang dari Prambanan, kami mengobrol apa saja, mulai
dari makanan khas Yogya, keraton Yogya, Gunung Merapi, dan banyak hal tentang
Indonesia. Saya juga ganti bertanya pada Priya tentang film India: apakah semua
orang India pandai menari? Kedengarannya konyol, tetapi saya penasaran, hehe.. “Most people in India can dance”, begitu katanya. Saya bilang, “Shah Rukh Khan is very famous in Indonesia.”
Priya juga menjelaskan lebih jauh tentang Bolywood, bahwa memang ada
diskriminasi dalam pemilihan movie star di India. Saya juga bilang saya sangat
kagum dengan Taj Mahal, “I wish someday I
could have been there,” hehe..
Priya sendiri adalah warga negara UK. Dia lahir dan tinggal di London.
Orangtuanya sudah menetap di London sejak dia kecil dan hanya beberapa kali
dalam setahun mengunjungi keluarga besarnya di India. Hmm..saya kemudian
penasaran juga bertanya tentang Pangeran William, hehe.. “Most people admire Prince William so much, also my sister,”
katanya. “For about 6 months before the
wedding, no other headline news except their wedding..” Jelas lah, karena
di Indonesia pun begitu, hehe..
Kami berpisah setelah mengantar Priya ke hotel tempat dia menginap di
Yogyakarta. Dua hari kemudian kami bertemu dia lagi di Jakarta untuk acara
serupa.
No comments:
Post a Comment