Menjelang acara pernikahan, tak jarang orang-orang sekitar
saya bertanya, gimana rasanya mau jadi manten? Deg-degan ga? Hmm…let’s talk about that.
Pertama kali ada yang mengajak menikah, tentu kaget. Yups
karena memang rejeki (harta, kemudahan, dan jodoh) tak pernah bisa diduga.
Apalagi memang waktu itu saya sedang tidak terlalu memikirkan ke arah sana.
Saya sedang mencari kesibukan kursus persiapan IELTS, supaya kegalauan tidak
bertambah parah.
Perasaan setelah itu adalah senang. Siapa sih yang ga senang
kalo mau menikah? Kecuali orang yang tidak dengan ikhlas menerima pasangannya. Bosan
juga kan selama ini menyandang status anak kosan yang ke mana-mana selalu
sendiri atau bergerombol bersama geng cewek teman satu kos. Juga ketika sakit
dan tidak ada satu pun orang lain yang tahu. Apa iya mau seperti itu terus?
Alhamdulillah, saya harus bersyukur punya teman-teman kos yang baik hati dan
perhatian.
Lalu giliran berikutnya adalah…merasa berat. Yaa…segera
setelah menentukan tanggal pernikahan tentu ada perasaan berat untuk
meninggalkan kebiasaan dan rutinitas yang sudah dijalani selama beberapa tahun
ini. Tempat tinggal yang dekat dari kantor dan fasilitas umum lainnya dalam
hitungan bulan akan berganti dengan tempat tinggal di pinggiran Jakarta. Waktu
jalan bersama teman dan me-time saat bersantai tentu akan berganti dengan
aktivitas layaknya sebuah keluarga.
Selanjutnya…sedih. Kok? Sedihnya kenapa? Saya pernah
tiba-tiba merasa sedih selepas shalat. Entah kenapa perasaan sedih itu muncul. Perasaan
sedih karena memiliki status sebagai istri berarti memiliki kewajiban yang berbeda
dengan status sebagai anak. Sedih karena merasa belum bisa memberi banyak pada
orang tua, padahal sebentar lagi akan
menjadi hak suami, tinggal menghitung waktu mundur. Saat ijab qabul diucapkan
nanti, saat itulah tanggung jawab orang tua terhadap kita berpindah kepada
suami. Dan otomatis, kewajiban kita pun lebih berat kepada suami.
Ada perasaan berat karena artinya tidak boleh lagi
menceritakan semua permasalahan yang dihadapi kepada orang tua (ibu) seperti
yang biasa dilakukan. Selain itu, sebagai istri tentu harus menuruti perkataan
suaminya karena ridho-Nya telah berpindah dari orang tua ke suami. Ada juga
perasaan takut. Takut menghadapi kehidupan yang akan dijalani nanti. Takut
tidak bisa menjalani peran dengan baik sebagai istri dan, insya Allah, sebagai ibu
nantinya.
Terlepas dari itu semua, saya mencoba memahaminya dari sisi
lain. Mungkin kita hanya melihatnya dari sisi orang tua yang merasa ditinggalkan
oleh anak perempuannya yang akan menikah. Tetapi, bentuk kehilangan itu harus
dipahami dari sisi yang pergi. Anak perempuan yang akan menikah berarti
menjalani kehidupan baru, yang selama ini diidamkan dan ditunggu saatnya oleh
orang tua.
Ada rasa sedih memang. Tapi saya juga bahagia karena
akhirnya bisa memberikan kebahagiaan yang sebenar-benarnya untuk orang tua
saya. Aamiin. Insya Alloh.
No comments:
Post a Comment