Mendadak saya pengin nulis sesuatu. Padahal lagi kejar deadline nulis literature review dan tinjauan pustaka untuk proposal penelitian Ristek tim kami. Saya membuat summary satu chapter dari sebuah buku berbahasa Inggris. Mengkopi satu paragraf, menempelnya di Google translate, membaca hasil terjemahan, menyempurnakannya dengan bahasa saya. Itu adalah tahap awal sebelum saya benar-benar membuat intisarinya.
Seperti biasa, dan seperti kebanyakan orang pada umumnya, ketika menyalakan laptop dan menghubungkannya ke jaringan internet, tidak bisa tidak, selalu membuka halaman situs jejaring sosial berlatar biru-putih. Saya sebenarnya sudah sering menemukan diri saya pada akhirnya tak menghasilkan apa-apa ketika awalnya berniat untuk bekerja. Sayangnya ketika bekerja saya hampir selalu membutuhkan koneksi internet.
Akhir pekan ini saya punya PR. Dan karena saya ada janji di hari minggu, maka saya kerjakan habis-habisan hari sabtunya. Saat tengah mengerjakan, ponsel saya berbunyi. Intinya, janji hari minggu kemungkinan batal.
Hmm..saya pun tergerak untuk segera update status. Entah ini perubahan buruk atau bukan, semenjak hadirnya situs biru-putih itu, sepertinya kita (termasuk saya, tentu) menjadi lebih terbuka di FB. Lebih enak rasanya mengungkapkan apa yang kita rasakan melalui status FB.
Saat saya membuka beranda akun FB saya, muncul sebuah foto yang diposting teman lama, fotonya bersama pasangannya. Hmm.. Ini bukan kali pertama saya tahu dia sudah punya pasangan. Saya tahu banyak (meski tidak semuanya) tentang daftar pasangannya semenjak kami masih satu sekolah dulu. Dan jelas, wajah yang berpose bersama teman saya itu adalah wajah baru yang mungkin entah urutan keberapa. Mungkin saya sudah tidak mengupdate infonya.
Ponsel saya berbunyi, teman lama saya mengirim pesan. Kami saling mengirim pesan beberapa kali. Singkatnya, dia bercerita bahwa dia ternyata punya perasaan yang lebih kepada orang yang dulu pernah menyukainya (saya tahu orangnya). Dia menanyakan,apakah masih ada kesempatan untuknya?
Saya juga ingat dengan teman yang bercerita bahwa dia mencoba berkenalan dengan orang yang (kalo idak boleh saya sebut dijodohkan) disarankan oleh ibunya. Seringkali dia melaporkan pada saya tentang orang-orang yang dikenalkan padanya. Tapi sampai sekarang, belum ada yang cocok.
Jodoh.
Sepertinya semua orang berusaha dalam hal ini. Saya yakin, setiap orang pasti memiliki kecemasan, entah sedikit atau banyak, entah tampak atau tidak. Hanya kadang saya terpikir. Kenapa ada orang yang cepat mendapatkan (atau menemukan) jodohnya, kenapa ada yang butuh waktu lama? Takdir. Itu mungkin jawaban mutlak yang tepat dan tak terbantah.
Tapi sekali lagi, bukankah takdir tidak dapat berjalan selagi kita tidak berusaha? Sama halnya rejeki tidak akan turun dari langit jika kita tidak mencari mata pencaharian. Lalu usaha yang seperti apa?
Apakah benar adanya orang yang belum juga menemukan jodohnya dapat disebut sebagai orang yang pemilih? Mungkin saja iya.
Tapi, saya tertegun lagi. Dulu selepas lulus SMA, kita semua dihadapkan pada pilihan bukan? Mau melanjutkan kuliah di mana? Saya juga menemukan ada orang di sekitar kita yang merasa tidak cocok atau tidak pas dengan jurusan yang diambilnya, kemudian dia pindah ke jurusan lain pada tahun ajaran berikutnya. Selepas kuliah, kita juga dihadapkan pada pilihan, mau kerja di mana? Ketika kita merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang kita jalani, tentu saja bisa resign untuk kemudian mencari yang membuat kita nyaman.
Tapi, jika Anda hanya punya kesempatan sekali untuk memilih, apa yang akan Anda pilih?
Itu yang sedari dulu mengganggu pikiran saya, dan mungkin juga Anda.
No comments:
Post a Comment