Sore itu, seperti biasanya, setelah shalat ashar saya membereskan meja kerja dan mematikan komputer. Saya agak tertinggal rupanya. Teman yang biasanya menyeberang jembatan penyeberangan bersama saya sudah pulang terlebih dahulu. Beberapa hari sebelumnya Jakarta sempat diguyur hujan. Bukan berarti saya tidak bersyukur, tapi tentu setiap orang berharap bahwa hujan tidak turun pada saat jam pulang kantor. Sore itu cukup panas. Dan terik sore itu paling tidak lebih nyaman daripada harus melewati kubangan air di pinggir jalanan ibu kota.
Tak terasa saya sampai di seberang jalan kantor. Tidak sampai dua menit, Kopaja 66 melintas di kejauhan dari sisi kanan saya. Sopir sudah paham betul dengan isyarat lambaian tangan saya. Hup.. dalam beberapa detik saya sudah berada di dalam minibus itu.
Setiap kali memasuki bus, kereta, atau angkutan umum, refleks mata kita pasti menelusur pemandangan yang ada, membaca suasana di dalamnya, dengan satu tujuan, mencari tempat duduk. Di bus itu tinggal beberapa tempat duduk tersisa di samping penumpang. Tak ada tempat duduk yang benar-benar kosong keduanya. Saya duduk di sebelah seorang remaja laki-laki di barisan kursi sebelah kiri. Rupanya dia tidak sendiri. Ada sekelompok remaja laki-laki dalam bus itu. Saya melihat jelas dari seragam sekolahnya. Mereka mengobrol dengan suara yang cukup kencang. Pemandangan yang wajar saya temui ketika sekelompok remaja pergi bersama, pasti obrolannya membuat sedikit keramaian. Saya maklum.
Tidak sampai dua menit setelah saya duduk, saya mencium bau yang tidak asing. Bau yang sangat saya kenali, tapi sangat saya benci. Asap rokok. Kepulan asap rokok tiba-tiba melintas dari belakang saya. Hufft..benar-benar tidak tertahan. Segera saya pakai masker yang baru saya beli tiga hari lalu. Ternyata benar-benar berguna, gumam saya. Saya tahu, saya tidak sendiri. Saya bisa melihat wanita yang duduk di depan saya merasa tidak nyaman dari gerakan tangannya yang reflek menutup hidungnya. Saya penasaran, dari mana sumber asap rokok itu. Saya menoleh ke belakang, ohh..ternyata penumpang di belakang saya yang merokok. Pantas saja asapnya begitu sesak saya rasakan. Saya tak bisa apa-apa. Pasrah memegangi masker yang sudah terpasang erat. Sesekali saya sengaja batuk, sekedar untuk menunjukkan bahwa saya tidak nyaman.
“Eh lo ngrokok juga..akhirnya kena juga lo..”
“Ah sama, lo juga..”
“Buset deh..tapi kan ini di bus coy, jangan di sini banyak orang..masih ngerokok juga..”
“Ah sama, lo juga..”
“Buset deh..tapi kan ini di bus coy, jangan di sini banyak orang..masih ngerokok juga..”
Perokok itu salah satu dari sekelompok remaja laki-laki berseragam SMA tadi. Sepertinya bukan dia satu-satunya yang sering merokok. Saya makin benci. Kenapa? Saya membayangkan , orang tua mereka dengan susah payah mencari uang untuk biaya sekolah mereka dengan sejuta harapan bahwa mereka nantinya akan bisa mengubah nasib orang tua mereka.
Di perempatan pertama, beberapa penumpang turun. Ada kursi yang kosong di deretan kanan. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya permisi melewati remaja laki-laki di sebelah saya untuk berpindah ke tempat yang kosong. Saya sudah tidak peduli apakah penumpang sebelah saya akan tersinggung nantinya. Buat apa peduli dengan mereka, toh mereka jauh tidak lebih peduli pada penumpang lain.
Saya pikir dengan saya pindah tempat duduk akan membuat saya sedikit lebih lega merasakan udara untuk bernapas, meski tak mungkin benar-benar bebas dari bau rokok. Ternyata saya salah. Remaja yang merokok itu kini pindah di kursi yang saya duduki tadi, bersebelahan dengan temannya. Posisi itu membuat saya leluasa mengamatinya. Saya meliriknya tajam ketika dia dengan leluasa mengepulkan asap rokok. Penumpang wanita yang duduk di depannya reflek mengibaskan tangan kemudian menutup hidungnya dengan tangan. Pada posisi seperti ini tidak ada yang bisa dilakukan oleh saya (dan penumpang lain yang terganggu). Saya terus mengamati remaja pria itu. Berharap nanti bertemu mata dengannya, sekedar untuk menyampaikan “pesan” bahwa dia mengganggu kenyamanan kami.
“Tu rokok matiin dulu napa..gak enak tau ama yg laen..”
Rupanya temannya bisa menangkap isyarat kami. Dia mematikan rokoknya. Sesaat saya lega. Tapi itu tak seberapa karena tak berapa lama saya sampai di tempat tujuan.
“Perokok itu nggak sayang sama keluarganya karena dia tidak menjaga kesehatannya supaya bisa lebih lama bersama keluarganya yang katanya dia sayangi”
Saya membayangkan, seandainya saya yang menegur penumpang yang merokok, mungkin bisa jadi saya yang dipersalahkan. Salah siapa naik bus, kalo mau ga ada rokok, naik taksi aja…
Hmm…saya kira begitu. Sebab saya pernah melihat pemandangan yang ironis saat naik KRL dari Depok menuju Jakarta. Seorang petuga KRL yang menegur perokok justru balik dimarahi oleh perokok itu, diceramahi banyak hal sampai kenyang (saya kira). Petugas itu pun tak dapat berbuat banyak. Mungkin pikirnya daripada terjadi keributan. Jadi saya berpikir seribu kali untuk menegur secara terang-terangan.
Hmm…saya kira begitu. Sebab saya pernah melihat pemandangan yang ironis saat naik KRL dari Depok menuju Jakarta. Seorang petuga KRL yang menegur perokok justru balik dimarahi oleh perokok itu, diceramahi banyak hal sampai kenyang (saya kira). Petugas itu pun tak dapat berbuat banyak. Mungkin pikirnya daripada terjadi keributan. Jadi saya berpikir seribu kali untuk menegur secara terang-terangan.
Merokok memang hak setiap orang. Tapi bukankah menikmati udara bersih itu juga hak setiap orang? Bukan masalah hak, tapi merokok itu meracuni orang lain secara pelan-pelan bahkan bisa merenggut nyawa orang lain yang menjadi perokok pasif.
Paru-paru sehat (kiri) dan paru-paru perokok (kanan) |
Bagi Anda yang merokok, semoga tergerak hatinya setelah membaca artikel berikut.